Kehidupan Butuh Penghidupan.
Sudah hampir satu tahun setelah jadi sarjana. Entah itu merupakan durasi waktu yang tergolong sebentar atau menurut sebagian orang lagi yang mengolongkan itu adalah durasi waktu yang telah tergolong lama. Saya adalah orang yang setuju dengan pendapat ke dua. Kenapa? Karena saya berada dalam lingkaran orang-orang yang tergolong berhasil. Beberapa bulan setelah diwisuda, mereka langsung mendapat kerja yang mumpuni. Penghasilannya cukup menghidupi dirinya sendiri, bahkan sampai bisa menolong perekonomian keluarganya. Salut? Yah. Saya adalah salah satu fans mereka orang-orang terdekat, keluarga, teman masa kecil yang kini telah menjadi sang pekerja.
Maka semua itu akan kembali tertuju ke diri saya yang masih saya katagorikan seorang sarjana yang belum bisa apa-apa. Jangankan untuk membantu, pun untuk menghidupkan diri saya sendiri pun saya belum mampu. Padahal saya bukan tipe orang yang suka shoping dan berfoya-foya membeli tas, sepatu, dan make up. Tidak yang bukan tipe orang yang seperti itu. Saya hidup apa adanya tanpa polesan kosmetik sedikit pun. Saya bukan pula orang yang hanya duduk di rumah lalu berpangku tangan. Saya bekerja, saya berusaha. Namun kerja dan usaha saya itu belum mampu menghidupi kebutuhan pribadi saya sendiri. Sedih? Galau? Maka jawabanya adalah iya. Mungkin ini adalah puncak kegalauan tertinggi dalam hidup yang hampir saya jalani. Ketika seorang yang telah sarjana belum mampu untuk berkompetisi dan lebih tepatnya belum berani 'pergi' mencoba berkompetisi di tempat lain. Kenapa belum berani? Lagi-lagi faktor materi karena untuk pergi berkompetisi di tempat lain kita butuh dana. Sedang untuk menghidupi diri sendiri saja saya belum bisa. Miris? Yah miris sekali apalagi kalau mesti minta di danai oleh orang tua.
Meski nyatanya kasih orang tua itu sepanjang masa. Tak jarang hati saya 'memberontak' saat harus minta uang kepada mereka di usia yang harusnya sudah sangat produktif mencari kerja dan mencari uang. Kini kata menyesal mulai berkelilinh di pikiran. Menyesal kenapa memilih jurusan ini, menyesal kenapa tidak itu saja. dll.
Kehidupan butuh penghidupan. Meski nyatanya allah telah memberi cerita tersendiri dalam perjalan hidup ini. Tapi diri saya tetap tak sabar bertanya dan bertanya. Berkata-kata dalam hari sendiri. Apakah giliran saya belum tiba?
Allah sesuai prasangka hambanya. Mungkin antrian itu masih panjang. Serta doa-doa saya selama ini belum bisa menembus seutuhnya dari pintu-pintu RezekiNya. Alhamdulilah untuk apa yang saya dapat hari ini dan semoga saya bisa menjadi seorang yang bisa menghidupi diri, membantu keluarga, dll. Amin
Salam Tulis,
Komentar
Posting Komentar