Catatan Skripsi: 1
~Satu
Kini aku mulai
berjuang tetang sesuatu yang belum pernah aku perjuangkan sebelumnya. Kini aku
telah duapuluh satu sebentar lagi akan menjadi duapuluh dua. Layaknya saat aku
masih di bangku Sekolah dasar dulu. Saat aku duduk di kelas 1 maka saat akan
naik ke kelas 2 aku merasa cemas. Takut. Karena pasti pelajarannya akan lebih
susah tidak hanya sekedar belajar menulis alfabet saja. Yah hanya menulis huruf
A saja dalam satu halaman kertas, lalu beranjak ke huruf berikutnya. Pastinya tak
sesederhana menulis angka satu sampai sepuluh dalam kertas kotak-kotak. Yah kelas
dua pasti akan lebih sulit. Terlebih lagi saat bagi rapor ada anak kelas dua
yang mengatakan padaku “Tiara kelas dua itu susah”.
Tahun berlalu
ternyata aku telah berhasil duduk di kelas enam. Melewati semua perkataan
susah, sulit,atau menyeramkan lainnya seperti “Tiara wali kelas kelas 5 itu
menyeramkan” dan ternyata semua berjalan
baik-baik saja. Selesai Ujian Nasional lalu masuk ke Madrasah Tsanawiyah. Rasanya
masih sama. Takut. Sama seperti saat kenaikan di bangku Sekolah Dasar dulu. Pasti pelajarannya lebih
susah. Apalagi mata pelajaran agamanya banyak. Ada bahasa arab, Sejarah
kebudayaan Islam, Fiqih, Quran Hadis, Akidah Akhlaq. Lagi-lagi aku takut. Alhamdulillah
aku masih bisa menjadi salah satu siswa yang ‘diperhitungkan’ di kelas sama
seperti saat di sekolah dasar dulu. Meski tidak selalu menjadi nomor satu.
Seingatku rengking empat adalah angka dengan nilai angka terbesar yang pernah
tertulis di raporku sampai aku kelas sembilan. Lumayanlah.
Tiga tahun
berlalu, lepas sudah ujian nasional. Saatnya masuk ke masa putih abu-abu yang
katanya banyak dinanti remaja. Kembali aku takut. Tentang bisika-bisikan bahwa
SMA itu sulit. Disana kita harus memilih jurusan. IPA atau IPS? Lagi-lagi semua
bisa terlalui. Dan alahamdulillah masih bisa menjadi siswi yang ‘diperhitungkan’
disana.
Waktu berlalu
begitu cepat. Kini aku telah duduk di tahun akhir perkuliahan. Awal masuk
perkuliahan aku merasa takut. Takut dengan senior, takut dengan dosen, takut
bagaimana cara beradaptasi di bangku perkuliahan. Aku yang selalu mendapatkan
juara kelas dari bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas ternyata
tidak ada apa-apanya dibanding teman sekelasku. Teman-teman yang berasal dari
berbagai darah mulai dari daerah-daerah kecil se-sumatera barat hingga ke
tinggkat kotanya. Ada pula yang berasal dari provinsi lain di indonesia. Yah,
juara kelas itu ternyata tidak ada apa-apanya bila aku disandingkan dengan
siswa-siswa cerdas. Orang-orang pilihan. Disanalah kita belajar, tentang suatu
kerendahan hati bahwa nantinya bukan juara yang ditanya. Tetapi seberapa banyak
ilmu yang telah kita simpan dan pahami di pikiran dan dihati kita. Disana pula
kita belajar bahwa dunia itu cukup luas dan berisi banyak orang-orang hebat di
dalamnya. Bahkan ada dari mereka yang nyaris selalu mendapatkan nilai sempurna.
Luar biasa bukan?
Dari situ kita
belajar tentang kerendahan hati. Bukan mala menjadi rendah diri lalu tak
percaya dengan kemampuan kita. Bertanya dan belajar bersama dengan teman yang
lebih paham begitulah cara belajar yang sebenarnya. Saling berbagi ilmu. Di semester
pertama dan disemester berikutnya aku mulai takut tatkala nilai keluar. Takut-takut
membuka portal. Alhamdulilah nilai di semester pertama dan kedua hanya ada dua
macam nilai ‘A’ dan ‘B’ dan itu membuatku lega. Tapi sayang tidak untuk
disemester ketiga ada satu nilai bulan sabit dengan akhiran plus (C+) untuk
nilai kimia fisika 1 ku. Semester keempat dan kelima nilaiku bisa dikatakan
aman dengan nilai B minus yang paling rendah. Lumayanlah. Kini aku sedang menanti
nilai semseter keenamku. Semoga hanya dua macam nilai yang akan kudapatkan
untuk nilai semester ini A dan B. Itu saja jangan sampai ada bulan sabit yang
bertengger di lembar nilaiku itu.
Tanya berapa
IPK? Nilaiku hanya standar saja. Sangat standar mala 3 lebih sedikit. Sudah kukatakan
tadi bahwa di perkuliahan ini aku hanya termasuk yang biasa-biasa saya. Maka tentunya
buka IPK yang luar biasa yang akan kudapat. Bukankah hidup begitu? Jika kau
biasa-biasa saja. Maka hasilnya akan biasa pula. Hidup itu sesuai dengan usaha
dan perjuanganmu. Begitulah adilnya Allah. Ada sebab maka akan ada akibat. Seperti
sebab kau rajin, makan akibatnya nilaimu akan bagus. Sederhana bukan?
Inilah waktunya.
Saat yang tepat untukku mewujudkan impian ke 143 yang kutulis dalam buku kecil
rahasiaku dengan embel-embel “Taman 3,5 tahun” berlanjut ke impian 214 yang
masih kutulis dalam buku catatan rahasia itu “semester 7 terakhir bayar SPP”
kedua impian dengan jarak nomor yang lumayan cukup jauh tapi saling terkait. Layaknya
hidup yang saling terkait satu sama lain. Kenapa aku ditakdirkan berkuliah di
universitaku sekarang. Kenapa jurusanku kimia? Semua itu tentu ada jawabannya. Yah,
jawaban yang bila kita cari tau akan saling berkaitan satu sama lain. Jika digambarkan
dengan untaian garis makan akan terciptalah garis-garis seperti benang kusut. Disaat
itulah kita harus berusaha menari mana pangkal benang dan dimana akhirnya.
Malam ini,
saat aku mulai mendapatan ‘sense’ menulisku. Berarti ada suatu yang berkesan. Malam
ini saat tulisan ini diposting kuharap akan selalu hari-hari berkesan yang akan
kulewati dan akan selalu kutulis. Karena telah lama sekali aku beristirahat
menulis. Padahal impian nomor sembilanku ingin memilik novel sendiri. Sangan bertolak
belakang denganku yang telah lama beristirahat untuk menulis.
Malam ini kan
kukatakan pada langit bahwa saatnya satu-satu impian itu kita dekati. Mendekat secara
berlahan lalu bejuang untuk meraihnya. Karena masih ratusan daftar keinginan
yang telah kubuat di catatan rahasiaku. Malam ini aku ingin membuka bungkusan
semangat yang telah lama terikat di dalam diri. Membukanya berlahan untuk
melewati hari-hari berikutnya sampai nantinya saat waktunya tiba (Maret 2016)
aku bisa menjadi seorang wisudawati. Amin ya Allah.
“Sebenarnya banyak mereka yang telah
melangkah. Memulai garis startnya, tapi mereka diam saja. Maka cari taulah
orang-orang yang telah melangkah itu. Agar kau bersemangat dan memiliki teman
untuk sama-sama berjuang. Karena berjuang sendiri itu sungguh menjenuhkan”
~Sepidi Quotes~
Salam
Tulis,
Muthesai
Komentar
Posting Komentar