Mu(t)heNote 5: Arti hidupku
Aku kini
mulai mengerti arti hidup yang sebenarnya. Dulu kukira kehidupan itu selalu
menyenangkan, membuat wajah selalu tersenyum.
Kusangka hidup menderita itu hanya ada di televisi belaka. Tentulah kehidupan yang diciptakan para sutradara.
Aku mulai mengerti arti hidup setelah kumenginjak bangku SMA. Terlambat? Mungkin itu yang kalian katakan. Tapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Bukankah itu benar?
Akan kuceritakan segelintir tentang kisahku. Aku anak seorang pegawai negri sipil. Tentulah gaji orang tuaku telah ditetapkan oleh pemerintah. Guru. Itulah pekerjaan ibuku. Pekerjaan yang sangat mulia bukan?
Mendengar kata kata ibu mengapa aku menjadi sedih? Oh tidak jangan sampai air mata ini menetes. Aku tak mau dikatakan anak yang cengeng.
Ibu adalah seorang yang sangat berarti di hidupku. Sangat berarti.
Dulu saat aku berpisah dengan ibuku selama 1 tahun aku sangat sedih. Aku berjanji jika aku kembali tinggal dengan ibu aku akan menjadi anak yang baik. Aku tidak akan mengeluh dengan masakan yang dibuat ibu. Itu janjiku pada hatiku. Apakah aku sekarang menepati janji itu? Entalah. Hanya aku yang tahu.
Sekarang aku memiliki teman. Yah! Teman yg bisa mengajariku tentang hidup. Teman yang mengajariku bahwa bersyukur itu bukan sekedar ucapan Alhamdulillah belaka.
Satu persatu nyawa pasti kembali dengan sang khalik. Dan banyak orang tua temanku yang telah kembali kepada Allah. Ayah mereka. Bahkan ibu mereka. Yah. Ibu,..
Oh tidak! Aku kembali meneteskan air mata. Sepertinya air mata yang mengingatkanku atas dosa dosaku pada ibu.
Alhamdulilah aku masih memiliki orang tua yang lengkap. Mereka memasak dengan mengunakan tungku dari batu bata sedangkan aku apabila ingin memasak cukup dengan memutar klop kompor gas.
Lalu nikmat tuhan mana lagi yg harus didustakan?
Kusangka hidup menderita itu hanya ada di televisi belaka. Tentulah kehidupan yang diciptakan para sutradara.
Aku mulai mengerti arti hidup setelah kumenginjak bangku SMA. Terlambat? Mungkin itu yang kalian katakan. Tapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Bukankah itu benar?
Akan kuceritakan segelintir tentang kisahku. Aku anak seorang pegawai negri sipil. Tentulah gaji orang tuaku telah ditetapkan oleh pemerintah. Guru. Itulah pekerjaan ibuku. Pekerjaan yang sangat mulia bukan?
Mendengar kata kata ibu mengapa aku menjadi sedih? Oh tidak jangan sampai air mata ini menetes. Aku tak mau dikatakan anak yang cengeng.
Ibu adalah seorang yang sangat berarti di hidupku. Sangat berarti.
Dulu saat aku berpisah dengan ibuku selama 1 tahun aku sangat sedih. Aku berjanji jika aku kembali tinggal dengan ibu aku akan menjadi anak yang baik. Aku tidak akan mengeluh dengan masakan yang dibuat ibu. Itu janjiku pada hatiku. Apakah aku sekarang menepati janji itu? Entalah. Hanya aku yang tahu.
Sekarang aku memiliki teman. Yah! Teman yg bisa mengajariku tentang hidup. Teman yang mengajariku bahwa bersyukur itu bukan sekedar ucapan Alhamdulillah belaka.
Satu persatu nyawa pasti kembali dengan sang khalik. Dan banyak orang tua temanku yang telah kembali kepada Allah. Ayah mereka. Bahkan ibu mereka. Yah. Ibu,..
Oh tidak! Aku kembali meneteskan air mata. Sepertinya air mata yang mengingatkanku atas dosa dosaku pada ibu.
Alhamdulilah aku masih memiliki orang tua yang lengkap. Mereka memasak dengan mengunakan tungku dari batu bata sedangkan aku apabila ingin memasak cukup dengan memutar klop kompor gas.
Lalu nikmat tuhan mana lagi yg harus didustakan?
Komentar
Posting Komentar