Surat Cinta untuk Ibu
Ibu
izinkan aku menuliskan sepucuk surat cinta untukmu. Surat tanda aku
mencintaimu. Mencintaimu lebih dari diriku. Meski ku tahu tak ada kata indah
yang bisa menandingi lantunan doa-doamu untukku. Tapi izinkanlah aku menorehkan
sepenggal kisah-kisahku bersamamu.
ibu
ternyata aku sudah besar ya bu. Lihatlah aku sekarang yang telah bisa hidup
mandiri tanpa ada ibu disisiku setiap harinya. Meski sekarang aku tak bisa
melihat ibu setiap hari, meski aku tak bisa bercerita langsung bertatap muka
dengan ibu tentang aktifitasku setiap harinya, meski aku tak bisa mendengar
dentingan sendok di pagi hari saat ibu membuatkan minuman untuk ayah.
Ibu,
kuakuai aku bukanlah anak yang bisa mengutarakan rasa sayangku kepada ibu. Aku
tidak seperti mereka yang bisa secara langsung mengatakan kepada ibu-ibu mereka
kalimat “ aku sayang ibu ”. Bahkan aku telah lupa kapan terakhir aku mengucapkan
kalimat itu untuk ibu. Akupun merasa aneh dengan diriku. Aneh lantaran aku yang
tak bisa mengucapkan kata-kata cintaku untuk ibuku sendiri. aneh lantaran aku tidak bisa mengucapkan
kata-kata sayangku secara langsung baik pada ayah, kakak dan kedua adikku.
Sikap
cuek yang ada pada diriku seolah membungkam mulutku untuk mengucapkan kalimat
itu. Dan bolehkaukh aku bertanya pada ibu? Maukah ibu memaafkanku?
Ibu,
aku masih ingat empat tahun yang lalu.
Tepatnya saat aku mesih menduduki bangku akhir di Tsanawiyah Disaat ibu dan
ayah memutuskan untuk pindah ke tanah kelahiran ayah dan ibu lantaran tidak ada
yang mengurus nenek disana. 17 Juni 2008, itu adalah hari yang amat menyedihkan bagiku. Karena di hari itu
ibu, ayah dan adik-adik akan pindah ke tempat nenek dan meninggalkanku dan
kakak lantaran aku dan kakak sama-sama menduduki bangku akhir di tsanawiyahdan
Aliyah. Melihat ibu, ayah, dan adik-adik menaiki bus sungguh membuat dadaku
sesak. Seolah paru-paruku menyempit. Sesak. Sesak karena aku berusaha menahan
cairan bening agar tidak keluar dari kedua sudut mataku.
Aku dan kakakpun tinggal di sebuah rumah
kontrakan yang tak jauh dari sekolah. Aku dan kakak tinggal di rumah kontrakan lantaran rumahku di jual sunggung sangat
membosankan. Tak jarang aku menagis. Hari-hari pertamaku disana sangat
membosankan. Tinggal di lingkungan baru. Otomatis akupun harus menyesuaikan
diri dengan lingkungan baru itu. Memori
itu masih kusimpan dalam otakku. Di setiap ibu menelpon menanyakan bagaimana
kabarku kami. Selalu saja kalimat “ Aku ingin pindah sekolah saja ke dekat ibu”
yang aku ucapkan. Dan dengan sabar ibu selalu menasehatiku. Meyakinkankanku
bahwa satu tahun itu tidaklah lama. Meyakinkanku bahwa nantinya pengalaman
tinggal berdua dengan kakak adalah pengalaman yang menyenangkan nantinya untuk
di kenang.
Ibu benar, setahun itu cepat. Tak terasa sudah
empat tahun saja kejadian itu berlalu. Dan lagi-lagi aku sekarang tinggal
bersama kakak. Tapi lihatkah aku sekarang bu. Aku tak pernah lagi menangis
seperti kejadian empat tahun silam. Aku juga tak pernah lagi mengatakan bahwa
aku ingin berhenti kuliah lantaran aku ingin tinggal didekat dengan ibu.
Lagi-lagi ibu benar.
Pengalaman tinggal bersama kakak selama satu tahun di rumah kontrakan itu kini
telah menjadi kisah indah saat di kenang kembali. Seperti yang pernah ibu
pernah mengatakan semuanya akan indah di akhir cerita.
Ibu sungguh aku sangat
beruntung memilikimu. Disaat anak-anak lain bingung ingin menceritakan keluh
kesah mereka kepada siapa lantaran ibu mereka telah tiada. Sedang aku bisa
menceritakan semuanya padamu ibu. Ibulah yang tahu segalanyaku. Ibulah yang
paling tahu tentang apa yang kurasa saat ini.
Komentar
Posting Komentar