Penikmat Sepi
Aku
mengeliat kecil tak tahan dengan hawa dingin yang menyelimuti kamarku.
Dingin
pagi ini sangat menusuk seolah akan membuat beku sarafku. Malas rasanya
aku
beranjak dari perbaringanku, apalagi melepas selimut yang sedang
menutupi
tubuhku. Aku yakin sekarang aku terlihat seperti kepompong. Berlahan
sinar
kuning mulai memasuki kamarku. Ia menyusup melalui setiap celah yang ada
di
kamarku. Aku tahu aku harus bangun sekarang. Takut-takut aku memasuki
pintu
kamar mandi, kucelupkan jari telunjuk kananku ke dalam bak mandi.
Rasanya
telunjuk malang itu seperti akan beku. Ingin rasanya saat ini aku mati
rasa
saat air mulai membasahi lapisan kulitku.
Langsung
kukenakan
baju seragam dan tak lupa kurekatkan ID Card di saku kiri baju itu.
Kini aku mulai melangkah menuju sekolah. Saatku memasuki gerbang
sekolah, sama
seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ada aku seorang sendiri. Datang pagi
sudah
menjadi kebiasaanku. Aku suka pagi yang sepi seperti saat ini. Aku mulai
mengitari pekarangan sekolah, melewati satu persatu ruang kelas, membaca
mading
dan mungkin melakukan hal-hal yang tidak penting seperti hanya
mengintipi ruang-ruang
kelas dari kaca jendela. Itu semua selalu kulakukan setiap pagi tanpa
lebih
dulu meletakkan tasku ke dalam kelas.
Aku
rasa
sudah cukup mengitari sekolah pagi ini. Aku lalu menuju kelasku, menaiki
undakan demi undakan anak tangga yang selalu kulalui setiap pagi. Aku
langsung
menuju bengkuku di barisan muka. Kakiku melangkah mengitari dua puluh
lima
bangku yang ada di ruang kelasku. Sesekali kucoba menduduki posisi
bangku
bagian belakang, samping atau berdiri di depan papan tulis. Itulah yang
kulakukan setiap pagi. Sungguh sesuatu yang tidak penting bukan?
Telingaku
menangkap
ada suara derap langkah yang kini menuju ruang kelasku. Lekas aku
kembali ke posisi bangkuku semula. Pemilik langkah itu telah memasuki
ruang
kelas. Lelaki berbadan tinggi yang tengah menikmati alunan musik yang
sedang
mengalun di telingannya. Yah, setahuku ia adalah murid laki-laki yang
tergolong
sering tiba di sekolah lebih awal. Ia duduk di bangkunya yang bertepatan
berada
di sebelahku.
“Pagi Kal” ujarnya.
“Pagi Zen” kataku sambil
tersenyuman kaku lalu tangan kananku
membenarkan letak kaca mata yang sedari tadi entah mengapa membuatku
sedikit
tak nyaman. Jujur meski aku dan dia berada dalam satu kelas aku jarang
berbicara dengannya kecuali pada saat
yang cukup mendesak. Ruang kelas masih tetap sepi, samar-samar
aku mendengar Zen turut mengikuti
lirik lagu yang sedang didengarnya. Suaranya cukup bagus dan aku sangat
menikmatinya.
Berbeda
dengan
beberapa menit yang lalu. Kedua puluh lima bangku di ruang kelasku kini
telah dipenuhi oleh pemiliknya. Dan itu berarti pelajaran akan segera
dimulai.
Benar saja Bu Turi telah memasuki ruang kelas siap untuk
menjejalkan berbagai rumus kimia di
papan tulis. Aku memerhatikan Bu Turi yang menerangkan berbagai rumus
tentang
materi hidrolisis yang sedang dipelajari sekarang. Sudah dua kali Bu
Turi
memberi soal latihan dan dua kali pula aku tak bisa menemukan jawabanya.
Bu
Turi tengah membacakan soal latihan ke tiga. Fokus! Fokus! Aku berusaha
meyakinkan diriku. Ku coba mengoret-oret berharap dapat menemukan
jawaban dari
soal ke tiga ini.
Argh! Percuma! Aku tak akan
pernah
bisa. Reflek aku membanting pulpen ke atas meja. Takut-takut aku menoleh
ke
samping, takut jika suara yang barusan kutimbulkan bisa membuyarkan
kosentrasi
temanku yang lain. Ternyata aku salah, mereka sangat menikmati pelajaran
ini.
Sekilas kulirik Zen yang duduk tepat di
sampingku. Kulihat jemarinya mengetuk-ngetuk meja dan aku tahu Zen pasti
sedang
mendengarkan musik saat ini. Mungkin itulah alasan Zen mengapa selalu
memilih
bengku yang berada di dekat jendela agar tali yang berjuntai di telinga
kirinya
sedikit tertutupi.
Aku yakin otak kanan dan
kiri Zen
seimbang. Buktinya saat ini Zen sedang mengerjakan soal keempat yang di
berikan
Bu Turi. Zen mengerjakannya dengan cekatan di papan tulis. Zen yang
terlihat
selalu santai yang sering mencuri-curi kesempatan untuk mendengarkan
musik di
sela-sela jam pelajaran mampu mengerjakan soal yang menurutku sangat
rumit.
Sedang aku yang sedari tadi berusaha untuk serius tetap saja tidak mampu
mengerjakannya. Pantas saja hampir setiap siswi disini menjadikan Zen
sebagai
idola mereka.
Jam pelajaran bersama Bu
Turi telah
berakhir. Satu persatu temanku mulai menuju pintu kelas dan menuju
kantin untuk
mengisi perut mereka. Lagi-lagi hanya ada aku dan Zen di ruang kelas
ini. Aku
berharap Zen juga melakukan hal yang sama seperti teman-temanku yang
lain untuk
mengisi perutnya. Lima menit berlalu Zen masih saja tak beranjak dari
bangkunya. Akupun memutuskan untuk keluar dan mulai menuruni anak tangga
yang
dipenuhi oleh siswa-siswi yang sedang bercakap satu sama lain. Disinilah
aku
lebih memilih untuk menghabiskan waktu istirahatku. Taman kecil yang
letaknya
tak jauh dari ruang kelasku.
Disaat sendiri seperti ini
air mataku
mulai menetes tanpa harus kuperintah. Sepi yang kurasa saat ini tak bisa
kunikmati layaknya sepi pagiku tadi. Bahkan di tahun ke duaku di sekolah
ini
aku tetap saja tak memiliki temanan. Teman untukku bertannya bila
terbentur
dalam mengerjakan tugaspun tak ada.
***
Pagi
sepiku
yang selalu kunikmati. Seperti biasa aku mengitari sekolah dengan
aktifitas
yang tak penting. Aku mungkin terlihat seperti orang aneh yang bodoh.
Seperti
itulah yang kutahu anggapan temanku padaku. Karena itulah mereka
antipasti padaku.
“Kal…” aku serasa mendengar
ada seseorang memanggil namaku.
Aku tak ambil pusing, mana mungkin ada orang yang memanggilku disaat
sekolah
masih sepi seperti ini. “Kal…” suara itu kudengar lagi, terdengar
sedikit lebih
keras dari sebelumnya. Saat kumenoleh ke belakang, aku terkejut melihat
Zen ada
di belakangku.
“Kau yang memanggilku Zen?”
tanyaku kaku padanya.
“Iya, apa ada orang lain
disini selain aku?” Zen balik
bertanya.
Aku menggelengkan kepalaku,
kulihat Zen tersenyum padaku “Ada
apa memanggilku Zen?” Tanyaku lagi.
“Hanya ingin memanggilmu
saja” jawabnya.
“Oh…” ucapku, tak mau
berlama-lama dengan suasana kaku
seperti ini aku kembali berucap “Emh, aku kesana dulu Zen” sambungku
sambil
menunjuk taman kecil yang sering aku datangi.
“Boleh aku ikut Kal?”
katanya. Aku hanya mengangguk pelan dan
mulai melangkah. Zen mensejajarkan langkahnya denganku.
“Kau sangat pendiam ya Kal?
Aku jarang mendengar Kau
berbicara” Zen kembali membuka percakapan.
“Mungkin karena tak ada yang
harus kubicarakan”jawabku sama
kakunya saat pertama aku bertanya pada Zen tadi.
“Kulihat Kau selalu serius,
cobalah sedikit santai. Santai
itu menyenangkan Kal” Zen kembali berucap membuatku binggung harus
menjawab
pertanyaannya.
“Oh, tentu Zen. Mungkin aku
akan mencoba sedikit santai”
jawabku sekenannya.
***
Pagi
ini
hawa dingin masih tetap memenuhi atmosfir kamarku. Tak seperti hari
biasanya,
dengan yakin aku langsung menuju kamar mandi tak sabar ingin cepat tiba
di
sekolah. Aku tahu ada sesuatu yang lain padaku hari ini. Zen, kurasa itu
penyebabnya. Percakapan singkatku pagi lalu bersama Zen seakan membuatku
candu
dan kini aku berharap Zen akan memanggilku lagi pagi ini. Hari ini aku
langsung
menuju ke kelas. Aku sedikit terkejut karena Zen telah ada di dalam
kelas dan
kali ini Zen mengalahkan aku yang selalu menjadi yang pertama tiba di
sekolah.
“Hai Kal! Sepertinya aku
berhasil mengalahkanmu pagi ini”
kata Zen dengan memamerkan giginya yang putih.
“Sepertinya begitu Zen, aku
juga sedikit terkejut tadi”
jawabku sambil membalas senyumannya.
Lihatlah aku tidak sekaku kemaren. Bukankah itu hal yang hebat?
“Hari ini Kau terlihat lebih
santai Kal, aku senang
melihatnya”
“Benarkah? ” tanyaku senang.
“Yah!” Zen meyakinkanku.
“Aku tahu sebenarnya Kau adalah
orang yang menyenangkan, hanya saja Kau sedikit kurang rasa percaya
diri.” Aku
hanya mendengarkan perkataan Zen karena
kulihat bibir Zen akan berkata lagi. “Kuharap jika besok aku bertemu
denganmu,
Kau telah bisa menambah sedikit rasa percaya dirimu Kal” sambung Zen.
“Kau benar Zen, Kau tahu apa
yang sering aku lakukan setiap
pagi disaat sekolah masih sepi?” Zen menatapku kulihat ia penasaran
dengan
kelanjutan kalimatku. “Setiap pagi kuhabiskan waktuku mengitari sekolah.
Mengamati kelas-kelas yang tak pernah kumasuki. Tentu jika aku pandai
bergaul
akan memiliki teman di setiap kelas. Seperti Kau tentunya. Memiliki
teman,
itulah salah satu mimpiku yang mungkin konyol bagimu yang telah memiliki
banyak
teman. Aktifitas bodohku lagi di setiap pagi aku mencoba berdiri di
depan papan
tulis. Berusaha bisa lancar berbicara di depan umum. Yah, Kau tahu
sendirikan
bagaimana aku bila Pak Dani mengambil nilai praktik pidato. Aku yang
kaku dan
lidahku seakan tak mau digerakkan. Sangat buruk!” kataku pada Zen. Air
mataku
seakan ingin keluar. Tapi kutahan, aku tak mau kelihatan begitu lemahnya
dihadapan Zen.
“Aku yakin kau adalah gadis
yang mempunyai kemauan keras Kal.
Akupun yakin lambat laun Kau akan bisa menjadi seperti yang Kau
dambakan. Ingat
aku akan selalu membantumu Kal. Kau tak perlu segan denganku karena
sekarang
aku adalah temanmu Kal” Kata-kata Zen memberi semangat lebih untuk
diriku.
***
Pagi sepiku kini
telah membuatku kembali tersenyum.
Suasana pagi yang biasanya kunikmati sendiri kini telah berubah karena
aku
telah memiliki seorang teman yang untuk berbagi. Arzenta ialah lelaki
pertama
yang mau menjadi temanku. Aku mengecek ulang isi tasku takut jika ada
yang tertinggal.
Ini mungkin adalah hari besar bagiku karena beberapa hari yang lalu aku
di
pilih beberapa petugas untuk pelaksanan kegiatan rutin di
sekolahku setiap jumat. PENRI “Penata Diri”
itulah nama kegiatan yang sudah menjadi kebiasan di sekolahku setiap
hari
jumat. Zenlah yang dengan susah payah mengusulkanku menjadi salah satu
dari
petugas pelaksana PENRI jumat ini. Zen telah meyakinkan para guru bahwa
aku
mampu. Sudah beberapa hari ini Zen membantuku untuk mencari materi di
perpustakaan agar aku bisa tampil sempurna. “Sugesti Mimpi” itulah judul
yang
Zen pilihkan untukku. Hari ini tiba dan aku tak akan mengecewakan Zen.
“ …oleh karena itu
tuliskanlah
mimpi-mimpimu baik dalam jangka panjang maupun pendek. Setelah beberapa
lama
berilah ceklis pada mimpi-mimpimu yang telah terwujud. Jangan hanya jadi
penonton tapi tujulah lapangan dan jadilah pemain kehidupan .Berani
bermimpi
besar, rasakan sepenuh hati. Karena dengan itu matahari yang panaspun
bisa kita
genggam.” Ucapku meniru kalimat yang ada di buku yang kucari bersama Zen
di
perpustakaan.
Lihatlah, semua orang
menghadiahkanku
tepuk tangan. gemuruh tepuk tangan pertama yang pernah aku rasakan. Aku
lihat
Zenlah yang paling semangat. Sepertinya aku tidak mengecewakan Zen. Saat
acara
telah selesai Zen langsung memberiku selamat.
“Kau hebat Kal…!” ucapnya.
“Itu semua karena Kau Zen.
Terima kasih.
”
“Tidak, bukan karenaku.
Tapi itu
semua adalah usaha kerasmu Kal. Dari dulu aku sudah yakin bahwa Kau
adalah
orang yang hebat. Karena itu aku berusaha mendekatimu dulu. Ingin
mengenalmu
lebih dekat, berusaha meyakinkanmu. Sekarang tak ada lagi gadis penikmat
sepi
yang kesepian yang ada sekarang adalah Kalwanisa yang ceria ” Ucap
Zen yang perkataan selalu memberiku
semangat
Komentar
Posting Komentar