Sahabat Terakhir
Alvin tersenyum kearah Sivia. Senyuman yang dapat menyejukkan kegundahan gadis di depannya.
Bola cahaya raksasa itu sepertinya telah bersiap-siap untuk kembali kepersembunyiannya. Langit dibuatnya semakin kelam.
"Pulang yuk Vi" ucap Alvin sambil menarik tangan Sivia.
Ia beranjak. Gadis itu tak membantah sedikitpun. Sepertinya ia telah lelah terbenam dalam kesedihan sejak tadi. Beberapa kali ia menyapu butir-butir pasir yang menempel di rok hijaunya. Setelah memastikan rok itu sudah cukup bersih ia berjalan mendekati Alvin yang berada beberapa langkah di depannya.
Mereka berjalan dalam diam. Tak satupun yang ingin memulai pembicaraan. Mereka terhanyut dalam fikiran masing-masing. Hanya deburan ombak dan kicauan segerombol burung yang mencari tempat peristirahatannya yang menjadi backsound perjalanan senja dua sahabat itu.
"Makasih Vin buat hari ini"
"Sama-sama Vi. Emh, aku harap kamu nggak sedih lagi. Aku pulang dulu ya." gadis itu mengangguk pelan.
14 jam yang lalu
Mutiara Kurniati
mengiyakan. Alvin membalikkan badannya, kakinya melangkah ke rumah dengan style minimalis yang hanya berselang tiga rumah dari rumah Sivia.
Sebelum membuka pintu pagar Alvin kembalikkan badannya. Ternyata Sivia masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Alvin melambaikan tangan dan memberi isyarat agar Sivia masuk.
15 menit lagi adzan akan berkumandang. Lekas Sivia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
"Ini lebih baik"ucapnya seraya menghembuskan nafas lega sambil melipat mukena dan meletakkan di atas meja.
Waktu seakan terhenti, disaat Sivia kembali memandangi empat anak manusia yang sedang menyunggingkan senyum cerianya dalam sebuah frame yang terbuat dari kerang. Dadanya kembali sesak. Tangisnya seakan ingin meledak.
"Kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus mereka? Dan bukan aku?"kembali gadis ini meruntuki dirinya. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan amarahnya.
Dua tahun yang lalu.
Dihari ulang tahun Sivia yang ke 14. Alvin, Tian, dan Kara telah berkumpul di kediaman Via. Tentulah mereka bertiga adalah tamu istimewa bagi Via. Persahabatan mereka telah terjalin cukup lama.
Karena Sivia adalah tipikal orang yang membenci keramaian. Oleh karena itu cukuplah baginya merayakan hari besar ini dengan ketiga sahabatnya.
"Vi ini buat kamu"ucap tiga sahabat itu serentak sambil memberikan tiga buah kado dengan ukuran berbeda.
Jelas tergambar diraut wajah Sivia bahwa ia sangat senang menerima hadiah dari sahabat-sahabatnya itu. Sivia membuka satu persatu kado itu dengan rasa penasaran.
Alvin memberikan gantungan kunci yang terbuat dari kerang. Sangat lucu. Berbeda dengan Tian yang menghadiahkan foto mereka berempat lengkap dengan frame yang juga terbuat dari kerang.
Via menebak-nebak sendiri hadiah terakhir pemberian dari Kara.Yah, gadis manis dengan tahi lalat di dekat matannya. Pasti hadiah ini juga ada hubungannya dengan kerang. Ucap Via dalam hati.
Via merobek kartas pink yang membalut hadiah itu.
"Ternyata dugaanku benar"ujarnya sambil melirik kearah Kara.
"Maksudnya?"tanya Kara heran.
"Kerang, semuanya serba kerang. Tadi aku hanya menebak-nebak hadiah kamu pasti juga sesuatu dari kerang..."Sivia mengantungkan kalimatnya.
"Emh, puisi...?"Sambung Sivia saat melihat isi dari frame kerang yang hampir milip dengan pemberian Tian.
Tepi Samudra
Oleh: Karaihara
Kuukir nama kita
Di daratan tepi samudra
Takkan terhapus oleh sang ombak
Nan ganas lagi perkasa
Kuukir nama kita
Di atap senjah nan megah
Kan abadi ia disana
Tak satupun yang dapat menjangkaunya
Ku berlari kau berlari
Penuh asa dan sahaja
Di dunia masa kecil
Tak terpisah oleh lautan
Kan kita tahlukkan bersama
"Puisi kamu bagus Kar"puji Tian dan diiyakan oleh Alvin dan Sivia.
"Benarkah?"ujar Kara tersipu malu. Padahal ia sedikit kurang percaya diri untuk menghadiahkan puisi perdana karyanya untuk sang sahabat.
"Acara buka kadonyakan udah selesai. Gimana kalau kita main ke pantai?"ajak Sivia sambil memandangi satu-persatu sahabatnya.
"Oke!"jawab ketigannya bersamaan.
"Ibu, Via pergi ke pantai bareng Alvin, Tian sama Kara ya!"pinta gadis itu pada sang ibu.
"Jangan Via, pantai itu sedang direnovasi..."
"Bu, Via pergi...!"ujar gadis itu memotong pembicaraan ibunya dan langsung pergi sambil terburu-buru menarik tangan sahabatnya.
Panorama pantak tak seindah biasanya. Disana sini dipenuhi dengan bahan bangunan. Krikil, besi, dan banyak lagi.
"Kita kesana aja!"ajak Tian sambil menunjuk ke arah jembatan yang baru dibangun. Karena tempat mereka biasa bermain juga dipenuhi dengan bahan bangunan.
"Bagus juga tempatnya"ucap Kara saat melihat ada aliran air seperti sungai di bawah jembatan itu.
Ada bebatuan yang dihantarkan ombak disana.
"Kita seperti berada di sungai yang kelam ya!"kali ini Sivia berujar. Sungai yang kelam karena hanya sebagian cahaya matahari yang masuk kesana.
Mereka bermain seperti biasa disana walau di tempat yang berbeda. Percikan-percikan air asin itu membasahi wajah mereka satu sama lain. Sesekali ombak memasuki daerah bawah terowongan permainan permainan mereka.
"Oh, sendalku hanyut!"ucap Kara dan lekas mengejar sendalnya.
"Kara jangan ke tengah! Airnya dalam...!"teriak Tian dan langsung menyusul Kara. Alvin dan Siviapun melakukan hal yang sama. Berusaha mengambil sendal kara yang terbawa arus.
Langit bergemuruh diikuti oleh rintik rerintik air hujan yang kian menderas.
"Owh!"teriak Kara. Ia terpeleset. Tian yang berbadan mungil berusaha menarik Kara agar tidak tenggelam.
Dengan susah payah Alvin dan Sivia mendekati Tian dan Kara. Karena postur tubuh Tian yang tidak mendukung ia terlihat kepayahan menarik Kara. Alvin berenang kearah Tian
bersamaan dengan datangnya ombak yang kembali menghantam terowongan itu. Tidak seperti ombak yang sudah-sudah. Kali ini ombak yang lebih besar.
"Wuss!!"ombak itu menghantam bawah jembatan. Membuat empat sekawan itu kesulitan berenang. Kilat terus menyambar-nyambar di atap samudra. Tak hanya sekali. Mungkin ini karena hujan deras di luar sana.
Rasa lemas kekurangan nafas karena cairan menghalangi kemampuan tubuh mereka untuk menyerap oksigen mereka rasakan. Air telah kembali tenang. Alvin berenang menuju tepi. Tak satupun ia temukan ketiga sahabatnya itu. Tergambar kepanikan diwajah tampannya.
Ia berlari mencari bantuan. Untunglah para pekerja renovasi pantai ada disana. Beramai-ramai mereka menuju lokasi kejadian.
"Ada tiga temanku yang hanyut"ucap Alvin sambil terisak ke pekerja itu.
"Disana ada seseorang" sahut seorang pekerja. Sivia ia hanyut kebagian ujung jembatan dengan luka di kepalannya. Sepertinya ia tadi terbentur ke bebatuan.
Sivia dilrikan kerumah sakit. Isak tangis kepanikan para ibu membuat hati Alvin semakin ciut tak berdaya. Bagaimana nasib kedua sahabatnya lagi?
Empat jam berlalu, tim pencari berhasil menemukan Tian. Lalu dimana Kara? Tian juga dilarikan ke rumah sakit. Meski Alvin tahu ia tidak bisa menaruh banyak harapan pada Tian. Tubuhnya pucat. Banyak air yang keluar dari mulutnya saat tim medis
menekan perut Tian. Ternyata benar Tian tidak bisa diselamatkan. Alvin sangat terpuruk melihat hal yang menimpa ketiga sahabatnya.
Esok harinya Tian dikebumikan. Sedang Sivia masih dalam keadaan koma di rumah sakit. Sampai hari dikebumikannya Tian, Kara belum juga ditemukan. Ataukah ia tak akan pernah ditemukan?
"Oh Tuhan! Kenapa tak Kau renggut pula nyawaku...!"Alvin berteriak di dalam hatinya sambil terus memandangi gundukan tanah merah dihadapannya.
Tian telah pergi. Takkan ada lagi Tian yang akan duduk di sebelahnnya saat ia kembali kesekolah. Orang tua Kara pun telah berpasrah kepada yang Mahakuasa. Mereka telah mengikhlaskan Kara jika itu memang kehendak-Nya.
Alvin menuju rumah sakit. Ia tak mau kehilangan sahabat untuk kedua kalinya.
"Vi, bangun Vi. Temenin aku disini, Tian sama Kara udah ninggalin kita. Kamu nggak bakal ninggalin aku juga kan Vi?"ucap Alvin tak kuasa membendung tangisnya. Mata Sivia terbuka, menatap Alvin dengan tatapan kosong.
"Via tunggu aku panggil dokter dulu Vi"
Alvin berlari mencari dokter. Harapannya semakin ciut saat mendengar penuturan dokter bahwa Sivia menderita amnesia akibat benturan yang terjadi di kepalannya.
"Oh Tuhan! Cobaan apalagi ini? Telah Kau ambil kedua sahabatku. Sekarang aku hanya memiliki Sivia. Tinggal ia seorang sahabatku. Kenapa Engkau buat ia tak mengenaliku?"Alvin berteriak sekeras-kerasnya. Berusaha mengalahkan suara ombak dengan teriakannya.
Lambat laun Alvin mulai bisa menerima semuannya. Tak pernah ia tampakkan wajah gundahnya di depan Sivia. Ia selalu tersenyum dikala menemani Sivia. Walau Sivia tak lagi mengenalnya. Ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk bersama Sivia. Dengan sabar Alvin berusaha membuka sedikit demi sedikit memori Sivia. Itu memang membutuhkan proses yang lama.
Sejak kejadian itu Sivia tinggal di rumah neneknya. Ibunya tak mau Sivia akan kembali trauma dengan kejadian buruk itu. Hanya sekali sebulan Via kembali kerumahnya. Disaat Via pulang Alvin selalu menemuinya. Berusaha agar ia kembali bisa mengingat kenangan mereka. Ternyat usahanya membuahkan hasil.
**
Sivia mendekap erat kedua frame kerang itu. Sangat erat. Hanya itu yang bisa membuatnya merasa dekat dengan sahabatnya. Ia sangat beruntung masih memiliki seorang sahabat seperti Alvin. Pemuda tegar yang pernah ia kenal.
"Ternyata kita belum bisa menahlukkan lautan Teman"ujarnya sambil memegang frame kerang yang berisi puisi dari Kara. Setidaknya setiap deburan ombak aku bisa mendengar deburan keceriaanmu.
_END_
Bola cahaya raksasa itu sepertinya telah bersiap-siap untuk kembali kepersembunyiannya. Langit dibuatnya semakin kelam.
"Pulang yuk Vi" ucap Alvin sambil menarik tangan Sivia.
Ia beranjak. Gadis itu tak membantah sedikitpun. Sepertinya ia telah lelah terbenam dalam kesedihan sejak tadi. Beberapa kali ia menyapu butir-butir pasir yang menempel di rok hijaunya. Setelah memastikan rok itu sudah cukup bersih ia berjalan mendekati Alvin yang berada beberapa langkah di depannya.
Mereka berjalan dalam diam. Tak satupun yang ingin memulai pembicaraan. Mereka terhanyut dalam fikiran masing-masing. Hanya deburan ombak dan kicauan segerombol burung yang mencari tempat peristirahatannya yang menjadi backsound perjalanan senja dua sahabat itu.
"Makasih Vin buat hari ini"
"Sama-sama Vi. Emh, aku harap kamu nggak sedih lagi. Aku pulang dulu ya." gadis itu mengangguk pelan.
14 jam yang lalu
Mutiara Kurniati
mengiyakan. Alvin membalikkan badannya, kakinya melangkah ke rumah dengan style minimalis yang hanya berselang tiga rumah dari rumah Sivia.
Sebelum membuka pintu pagar Alvin kembalikkan badannya. Ternyata Sivia masih berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Alvin melambaikan tangan dan memberi isyarat agar Sivia masuk.
15 menit lagi adzan akan berkumandang. Lekas Sivia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
"Ini lebih baik"ucapnya seraya menghembuskan nafas lega sambil melipat mukena dan meletakkan di atas meja.
Waktu seakan terhenti, disaat Sivia kembali memandangi empat anak manusia yang sedang menyunggingkan senyum cerianya dalam sebuah frame yang terbuat dari kerang. Dadanya kembali sesak. Tangisnya seakan ingin meledak.
"Kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus mereka? Dan bukan aku?"kembali gadis ini meruntuki dirinya. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan amarahnya.
Dua tahun yang lalu.
Dihari ulang tahun Sivia yang ke 14. Alvin, Tian, dan Kara telah berkumpul di kediaman Via. Tentulah mereka bertiga adalah tamu istimewa bagi Via. Persahabatan mereka telah terjalin cukup lama.
Karena Sivia adalah tipikal orang yang membenci keramaian. Oleh karena itu cukuplah baginya merayakan hari besar ini dengan ketiga sahabatnya.
"Vi ini buat kamu"ucap tiga sahabat itu serentak sambil memberikan tiga buah kado dengan ukuran berbeda.
Jelas tergambar diraut wajah Sivia bahwa ia sangat senang menerima hadiah dari sahabat-sahabatnya itu. Sivia membuka satu persatu kado itu dengan rasa penasaran.
Alvin memberikan gantungan kunci yang terbuat dari kerang. Sangat lucu. Berbeda dengan Tian yang menghadiahkan foto mereka berempat lengkap dengan frame yang juga terbuat dari kerang.
Via menebak-nebak sendiri hadiah terakhir pemberian dari Kara.Yah, gadis manis dengan tahi lalat di dekat matannya. Pasti hadiah ini juga ada hubungannya dengan kerang. Ucap Via dalam hati.
Via merobek kartas pink yang membalut hadiah itu.
"Ternyata dugaanku benar"ujarnya sambil melirik kearah Kara.
"Maksudnya?"tanya Kara heran.
"Kerang, semuanya serba kerang. Tadi aku hanya menebak-nebak hadiah kamu pasti juga sesuatu dari kerang..."Sivia mengantungkan kalimatnya.
"Emh, puisi...?"Sambung Sivia saat melihat isi dari frame kerang yang hampir milip dengan pemberian Tian.
Tepi Samudra
Oleh: Karaihara
Kuukir nama kita
Di daratan tepi samudra
Takkan terhapus oleh sang ombak
Nan ganas lagi perkasa
Kuukir nama kita
Di atap senjah nan megah
Kan abadi ia disana
Tak satupun yang dapat menjangkaunya
Ku berlari kau berlari
Penuh asa dan sahaja
Di dunia masa kecil
Tak terpisah oleh lautan
Kan kita tahlukkan bersama
"Puisi kamu bagus Kar"puji Tian dan diiyakan oleh Alvin dan Sivia.
"Benarkah?"ujar Kara tersipu malu. Padahal ia sedikit kurang percaya diri untuk menghadiahkan puisi perdana karyanya untuk sang sahabat.
"Acara buka kadonyakan udah selesai. Gimana kalau kita main ke pantai?"ajak Sivia sambil memandangi satu-persatu sahabatnya.
"Oke!"jawab ketigannya bersamaan.
"Ibu, Via pergi ke pantai bareng Alvin, Tian sama Kara ya!"pinta gadis itu pada sang ibu.
"Jangan Via, pantai itu sedang direnovasi..."
"Bu, Via pergi...!"ujar gadis itu memotong pembicaraan ibunya dan langsung pergi sambil terburu-buru menarik tangan sahabatnya.
Panorama pantak tak seindah biasanya. Disana sini dipenuhi dengan bahan bangunan. Krikil, besi, dan banyak lagi.
"Kita kesana aja!"ajak Tian sambil menunjuk ke arah jembatan yang baru dibangun. Karena tempat mereka biasa bermain juga dipenuhi dengan bahan bangunan.
"Bagus juga tempatnya"ucap Kara saat melihat ada aliran air seperti sungai di bawah jembatan itu.
Ada bebatuan yang dihantarkan ombak disana.
"Kita seperti berada di sungai yang kelam ya!"kali ini Sivia berujar. Sungai yang kelam karena hanya sebagian cahaya matahari yang masuk kesana.
Mereka bermain seperti biasa disana walau di tempat yang berbeda. Percikan-percikan air asin itu membasahi wajah mereka satu sama lain. Sesekali ombak memasuki daerah bawah terowongan permainan permainan mereka.
"Oh, sendalku hanyut!"ucap Kara dan lekas mengejar sendalnya.
"Kara jangan ke tengah! Airnya dalam...!"teriak Tian dan langsung menyusul Kara. Alvin dan Siviapun melakukan hal yang sama. Berusaha mengambil sendal kara yang terbawa arus.
Langit bergemuruh diikuti oleh rintik rerintik air hujan yang kian menderas.
"Owh!"teriak Kara. Ia terpeleset. Tian yang berbadan mungil berusaha menarik Kara agar tidak tenggelam.
Dengan susah payah Alvin dan Sivia mendekati Tian dan Kara. Karena postur tubuh Tian yang tidak mendukung ia terlihat kepayahan menarik Kara. Alvin berenang kearah Tian
bersamaan dengan datangnya ombak yang kembali menghantam terowongan itu. Tidak seperti ombak yang sudah-sudah. Kali ini ombak yang lebih besar.
"Wuss!!"ombak itu menghantam bawah jembatan. Membuat empat sekawan itu kesulitan berenang. Kilat terus menyambar-nyambar di atap samudra. Tak hanya sekali. Mungkin ini karena hujan deras di luar sana.
Rasa lemas kekurangan nafas karena cairan menghalangi kemampuan tubuh mereka untuk menyerap oksigen mereka rasakan. Air telah kembali tenang. Alvin berenang menuju tepi. Tak satupun ia temukan ketiga sahabatnya itu. Tergambar kepanikan diwajah tampannya.
Ia berlari mencari bantuan. Untunglah para pekerja renovasi pantai ada disana. Beramai-ramai mereka menuju lokasi kejadian.
"Ada tiga temanku yang hanyut"ucap Alvin sambil terisak ke pekerja itu.
"Disana ada seseorang" sahut seorang pekerja. Sivia ia hanyut kebagian ujung jembatan dengan luka di kepalannya. Sepertinya ia tadi terbentur ke bebatuan.
Sivia dilrikan kerumah sakit. Isak tangis kepanikan para ibu membuat hati Alvin semakin ciut tak berdaya. Bagaimana nasib kedua sahabatnya lagi?
Empat jam berlalu, tim pencari berhasil menemukan Tian. Lalu dimana Kara? Tian juga dilarikan ke rumah sakit. Meski Alvin tahu ia tidak bisa menaruh banyak harapan pada Tian. Tubuhnya pucat. Banyak air yang keluar dari mulutnya saat tim medis
menekan perut Tian. Ternyata benar Tian tidak bisa diselamatkan. Alvin sangat terpuruk melihat hal yang menimpa ketiga sahabatnya.
Esok harinya Tian dikebumikan. Sedang Sivia masih dalam keadaan koma di rumah sakit. Sampai hari dikebumikannya Tian, Kara belum juga ditemukan. Ataukah ia tak akan pernah ditemukan?
"Oh Tuhan! Kenapa tak Kau renggut pula nyawaku...!"Alvin berteriak di dalam hatinya sambil terus memandangi gundukan tanah merah dihadapannya.
Tian telah pergi. Takkan ada lagi Tian yang akan duduk di sebelahnnya saat ia kembali kesekolah. Orang tua Kara pun telah berpasrah kepada yang Mahakuasa. Mereka telah mengikhlaskan Kara jika itu memang kehendak-Nya.
Alvin menuju rumah sakit. Ia tak mau kehilangan sahabat untuk kedua kalinya.
"Vi, bangun Vi. Temenin aku disini, Tian sama Kara udah ninggalin kita. Kamu nggak bakal ninggalin aku juga kan Vi?"ucap Alvin tak kuasa membendung tangisnya. Mata Sivia terbuka, menatap Alvin dengan tatapan kosong.
"Via tunggu aku panggil dokter dulu Vi"
Alvin berlari mencari dokter. Harapannya semakin ciut saat mendengar penuturan dokter bahwa Sivia menderita amnesia akibat benturan yang terjadi di kepalannya.
"Oh Tuhan! Cobaan apalagi ini? Telah Kau ambil kedua sahabatku. Sekarang aku hanya memiliki Sivia. Tinggal ia seorang sahabatku. Kenapa Engkau buat ia tak mengenaliku?"Alvin berteriak sekeras-kerasnya. Berusaha mengalahkan suara ombak dengan teriakannya.
Lambat laun Alvin mulai bisa menerima semuannya. Tak pernah ia tampakkan wajah gundahnya di depan Sivia. Ia selalu tersenyum dikala menemani Sivia. Walau Sivia tak lagi mengenalnya. Ia bersyukur masih diberi kesempatan untuk bersama Sivia. Dengan sabar Alvin berusaha membuka sedikit demi sedikit memori Sivia. Itu memang membutuhkan proses yang lama.
Sejak kejadian itu Sivia tinggal di rumah neneknya. Ibunya tak mau Sivia akan kembali trauma dengan kejadian buruk itu. Hanya sekali sebulan Via kembali kerumahnya. Disaat Via pulang Alvin selalu menemuinya. Berusaha agar ia kembali bisa mengingat kenangan mereka. Ternyat usahanya membuahkan hasil.
**
Sivia mendekap erat kedua frame kerang itu. Sangat erat. Hanya itu yang bisa membuatnya merasa dekat dengan sahabatnya. Ia sangat beruntung masih memiliki seorang sahabat seperti Alvin. Pemuda tegar yang pernah ia kenal.
"Ternyata kita belum bisa menahlukkan lautan Teman"ujarnya sambil memegang frame kerang yang berisi puisi dari Kara. Setidaknya setiap deburan ombak aku bisa mendengar deburan keceriaanmu.
_END_
Komentar
Posting Komentar