Cuplikan Awal Diary Kian
Jam di kamarku telah menunjukan pukul 20.00 WIB. Tapi belum satupun ku sentuh buku pelajaranku tuk esok hari. Meski tak ada PR aku seharusnya menyelesaikan minimal 1 soal dari pelajaranku besok. Tapi sampai saat inipun aku belum juga melakukannya.
Aku melihat diary biruku. Yah, aku memang menyukai biru. Diary itu telah lama ku beli namun tak sehelaipun dari kertas diary itu ku tulis. Dulu saat aku masih menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama, aku sangat rajin menulis diary. Lalu mengapa saat ini berbeda?
Aku agaknya teringat perkatan guru SMP ku dulu. Panggil beliau Bu Darma. Dulu saat menerangkan tetang pelajaran Bahasa Indonesia tentang memo lalu entah mengapa kami saat itu malah membahas tentang Buku Harian. Jika ku tak salah ada salah satu temanku yang bertanya tentang persamaan memo dan buku harian. Hingga Bu Darmapun menjelaskan lebih rinci tentang buku harian. Lalu beliau berkata "Biasannya jika seseorang menulis buku harian pasti kita lebih fokus menuliskan tentang seseorang. Lama kelamaan buku harian itu hanya akan di penuhi dengan objek yang kita fokuskan itu. Si Dia" waktu mendengar ucapan Bu Darma saat itu, tanpa kusadari seulas senyum menghiasi bibirku tanda aku setuju dengan ucapan beliau.
Oh, akhirnya aku tahu mengapa di saat sekarang aku jarang, emh, lebih tepatnya tidak pernah menulis diary lagi. Karena saat ini aku kehilangan sang objek fokus itu.
Aku membuka lembar pertama diaryku. Lalu menuliskan cuplikan-cuplikan kisah yang pernah kualami dulu bersama sang objek itu. Aku akan menuliskan cuplikan dari yang paling berkesan bagiku. Meski cuplikan itu nantinya tidak memiliki latar waktu yang urut. Tapi setidaknya kini aku tahu apa yang harus kutulis di diaryku ini.
Cuplikan 1
kisah yang pertama ku ingat saat dengannya.
Aku masih ingat 2 tahun yang lalu saat aku duduk di kelas X dia-Dani- mengirim sebuah pesan ke ponselku. Hal yang ku duga tak akan ia ingat, ternyata ia mengingatnya. Malam itu, entah apa yang aku dan Dani bahas, hingga pembicaran berlanjut tentang perdebatan siapa yang lebih tua dan muda diantara aku dan dia. Aku yang tak mau kalah lalu mengirimkan balasan pamungkas untuknya.
To: Dani
Kamukan lahirnya bulan Agustus. Ya tuaan kamulah Dan.
Tidak perlu lama aku menunggu, ia langsung membalasnya.
From: Dani
lo nggak tau kan, kalau hari ini gue ulang tahun?
Aku membaca sms itu sambil mengingat-ingat tanggal berapa hari itu. Yah! Hari itu tepat tanggal 31 Agustus. Ternyata malam itu ia tepat berusia 16 tahun.
Aku jadi teringat dengan seorang anak perempuan yang dulu memanggiku saat aku berjalan hendak menuruni anak tangga menuju kantin. Dia menarik tanganku.
"Ada apa?"tanyaku bingung. Karena tak biasannya anak perempuan itu seperti itu padaku. Bahkan berbicara dengannyapun aku tak pernah.
"Emh," dia sedikit ragu, lalu ia melirik teman-temanku yang lain. Karena saat itu aku tidak sendiri menuju kantin. "Nanti aja deh!" sambumgnya. Aku mengangukan kepala menyetujuinya. Lalu bergegas menuruni tangga bersama ke dua temanku. Tika dan Afika.
Ternyata dia-anak perempuan- itu benar-benar menantiku di tangga yang tadi kulalui. Aku mendekat ke arahnya sementara ke dua temanku lagi melanjutkan perjalanannya menuju kelas. Meninggalkan aku dan anak perempuan itu berdua saja.
"Kamu tau tanggal lahir Dani?" tanyanya padaku. Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya. Sedari tadi ia menungguku hanya untuk menanyakan tanggal lahir Dani? Atas latar belakang apa ia bisa menyimpulkan aku tahu tanggal kelahiran Dani. Bahkan di sekolahpun aku dan Dani tidak terlihat akrab. Menegurnyapun aku tak pernah. Yah, aku yang tak pernah menyapanya. Bukan dia-Dani-
"Emh, mungkin 31 Agustus" aku menjawabnya dengan intonasi yang ku buat seakan-akan aku ragu dengan jawbanku.
"Makasih" jawabnya sambil tersenyum bahagia, seakan telah berhasil mengungkapkan rahasia besar dan aku sang guru kunci itu.
"Iya" jawabku sambil membalas senyumannya.
Aku baru ingat saat itu aku telah lama termenung. Lalu ku tekan tombol replay pada ponselku.
To: Dani
Happy Brithday ya :) tambah tua dong! Eh tau ngga dulu pacarmu -Naila- pernah nanyain tanggal lahir kamu loh sama aku. Terus aku jawab 31 Agustus. Ternyata tebakan aku tepat ya. Hehe
lihatlah, betapa munafiknya aku. Tebakan? Benarkah aku hanya menebak?
Drrtt... Drrtt! Ponselku kembali bergetar.
From: Dani
Thanks Ki, ahh? Serius? Eh, tapi gue udah ngga pacaran sama dia lagi. -,-"
To: Dani
Ngapain juga aku bohong? Oh, udah ngga lagi. Terus kamu tau ngga tanggal lahir aku gitu?
Balasanku kali ini terkesan menantang. Dan akupun yakin ia tidak akan ingat tanggal lahirku. Siapa aku untuknya? Cepat dari dugaan ia telah membalas pesanku.
From: Dani
16 September, iya kan? Gue inget kok Ki. :)
Betapa senang hatiku saat itu. Meski itu bukan sesuatu yang biasa bagi orang lain. Tapi ini istimewa bagiku. Dani yang sekalipun tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun padaku.
Aku melihat diary biruku. Yah, aku memang menyukai biru. Diary itu telah lama ku beli namun tak sehelaipun dari kertas diary itu ku tulis. Dulu saat aku masih menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama, aku sangat rajin menulis diary. Lalu mengapa saat ini berbeda?
Aku agaknya teringat perkatan guru SMP ku dulu. Panggil beliau Bu Darma. Dulu saat menerangkan tetang pelajaran Bahasa Indonesia tentang memo lalu entah mengapa kami saat itu malah membahas tentang Buku Harian. Jika ku tak salah ada salah satu temanku yang bertanya tentang persamaan memo dan buku harian. Hingga Bu Darmapun menjelaskan lebih rinci tentang buku harian. Lalu beliau berkata "Biasannya jika seseorang menulis buku harian pasti kita lebih fokus menuliskan tentang seseorang. Lama kelamaan buku harian itu hanya akan di penuhi dengan objek yang kita fokuskan itu. Si Dia" waktu mendengar ucapan Bu Darma saat itu, tanpa kusadari seulas senyum menghiasi bibirku tanda aku setuju dengan ucapan beliau.
Oh, akhirnya aku tahu mengapa di saat sekarang aku jarang, emh, lebih tepatnya tidak pernah menulis diary lagi. Karena saat ini aku kehilangan sang objek fokus itu.
Aku membuka lembar pertama diaryku. Lalu menuliskan cuplikan-cuplikan kisah yang pernah kualami dulu bersama sang objek itu. Aku akan menuliskan cuplikan dari yang paling berkesan bagiku. Meski cuplikan itu nantinya tidak memiliki latar waktu yang urut. Tapi setidaknya kini aku tahu apa yang harus kutulis di diaryku ini.
Cuplikan 1
kisah yang pertama ku ingat saat dengannya.
Aku masih ingat 2 tahun yang lalu saat aku duduk di kelas X dia-Dani- mengirim sebuah pesan ke ponselku. Hal yang ku duga tak akan ia ingat, ternyata ia mengingatnya. Malam itu, entah apa yang aku dan Dani bahas, hingga pembicaran berlanjut tentang perdebatan siapa yang lebih tua dan muda diantara aku dan dia. Aku yang tak mau kalah lalu mengirimkan balasan pamungkas untuknya.
To: Dani
Kamukan lahirnya bulan Agustus. Ya tuaan kamulah Dan.
Tidak perlu lama aku menunggu, ia langsung membalasnya.
From: Dani
lo nggak tau kan, kalau hari ini gue ulang tahun?
Aku membaca sms itu sambil mengingat-ingat tanggal berapa hari itu. Yah! Hari itu tepat tanggal 31 Agustus. Ternyata malam itu ia tepat berusia 16 tahun.
Aku jadi teringat dengan seorang anak perempuan yang dulu memanggiku saat aku berjalan hendak menuruni anak tangga menuju kantin. Dia menarik tanganku.
"Ada apa?"tanyaku bingung. Karena tak biasannya anak perempuan itu seperti itu padaku. Bahkan berbicara dengannyapun aku tak pernah.
"Emh," dia sedikit ragu, lalu ia melirik teman-temanku yang lain. Karena saat itu aku tidak sendiri menuju kantin. "Nanti aja deh!" sambumgnya. Aku mengangukan kepala menyetujuinya. Lalu bergegas menuruni tangga bersama ke dua temanku. Tika dan Afika.
Ternyata dia-anak perempuan- itu benar-benar menantiku di tangga yang tadi kulalui. Aku mendekat ke arahnya sementara ke dua temanku lagi melanjutkan perjalanannya menuju kelas. Meninggalkan aku dan anak perempuan itu berdua saja.
"Kamu tau tanggal lahir Dani?" tanyanya padaku. Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya. Sedari tadi ia menungguku hanya untuk menanyakan tanggal lahir Dani? Atas latar belakang apa ia bisa menyimpulkan aku tahu tanggal kelahiran Dani. Bahkan di sekolahpun aku dan Dani tidak terlihat akrab. Menegurnyapun aku tak pernah. Yah, aku yang tak pernah menyapanya. Bukan dia-Dani-
"Emh, mungkin 31 Agustus" aku menjawabnya dengan intonasi yang ku buat seakan-akan aku ragu dengan jawbanku.
"Makasih" jawabnya sambil tersenyum bahagia, seakan telah berhasil mengungkapkan rahasia besar dan aku sang guru kunci itu.
"Iya" jawabku sambil membalas senyumannya.
Aku baru ingat saat itu aku telah lama termenung. Lalu ku tekan tombol replay pada ponselku.
To: Dani
Happy Brithday ya :) tambah tua dong! Eh tau ngga dulu pacarmu -Naila- pernah nanyain tanggal lahir kamu loh sama aku. Terus aku jawab 31 Agustus. Ternyata tebakan aku tepat ya. Hehe
lihatlah, betapa munafiknya aku. Tebakan? Benarkah aku hanya menebak?
Drrtt... Drrtt! Ponselku kembali bergetar.
From: Dani
Thanks Ki, ahh? Serius? Eh, tapi gue udah ngga pacaran sama dia lagi. -,-"
To: Dani
Ngapain juga aku bohong? Oh, udah ngga lagi. Terus kamu tau ngga tanggal lahir aku gitu?
Balasanku kali ini terkesan menantang. Dan akupun yakin ia tidak akan ingat tanggal lahirku. Siapa aku untuknya? Cepat dari dugaan ia telah membalas pesanku.
From: Dani
16 September, iya kan? Gue inget kok Ki. :)
Betapa senang hatiku saat itu. Meski itu bukan sesuatu yang biasa bagi orang lain. Tapi ini istimewa bagiku. Dani yang sekalipun tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun padaku.
Komentar
Posting Komentar