Kutunggu Antusiasmu Ine (Belum Selesai)

"Belajar itu mudah! Perhatikan maka kau akan paham!" ujar lelaki bernama Eza ini dalam hati. Ia menyesuaikan ketukan jarinya seirama dengan lagu yang sedang berdendang merdu di kuping kanananya. Duduk di barisan pinggir itu menyenangkan menurutnya. Karena headseed yang ia kenakan di telinga kanannya sedikit tertutupi. Hingga guru tak mengetahui bahwa ia sedang mendengar dentum aluan musik saat ini. Bukankah otak kiri dan otak kanan itu harus seimbang? Itulah prinsip anak kelaki ini.

*

Seorang gadis terlihat sangat serius memerhatikan guru yang sedang menjelaskan pelajaran. "Fokus! Fokus!" ujarnya dalam hati. Berusaha memfokuskan diri agar bisa menyimpan pelajaran itu di benaknya.
"Ck" ia berdecak. "Percuma! Semua itu tak akan bisa ia tangkap" gadis itu putus asa, refles ia melempar pulpennya ke atas meja.
*

Eza berjalan tergesa-gesa menuju toilet. Langkahnya berhenti saat mendapati seorang siswi yang tengah duduk sendirian di belakang sekolah. "Gadis itu lagi" gumamnya pelan. Sepertinya gadis itu merasa ada yang memerhatikannya. Tiba-tiba dua pasang manik mata itu bertemu dari kejauhan. "Ia menangis?" Eza kembali bergumam. Saat melihat ada kilauan bening di pipi gadis itu. Cepat-cepat gadis itu menyeka air mata dipipinya. Kemudian ia pergi. "Siapa dia?" tanya Eza pada dirinya. Oh tidak, ia sampai lupa bahwa tujuan awalnya adalah ingin menuju toilet.
*

"Gambarmu semakin bagus saja" puji Riani saat melihat kupulan gambar Eza. "Kurasa otak kiri dan kananmu sangat seimbang"tambahnya lagi.

"Rian, kamu kenal gadis itu?" tanya Eza tanpa lebih dulu menanggapi perkataan Riani.

"Gadis yang memakai tas ungu itu?"tanya Rian memastikan gadis yang dimaksud Eza. Karena banyak sekali siswa siswi yang memenuhi lapangan. Karena sekarang sudah waktunya untuk pulang.

"Iya, yang itu. Aku pernah melihatnya di kelasmu. Waktu aku meminjam catatanmu" jawab Eza.

"Oh, dia Ine teman sekelasku. Kenapa Za?"

"Sudah dua hari aku melihatnya menangis di belakang sekolah. Saat aku mau ke toilet" kata Eza.

"Benarkah? Aku yang teman satu kelasnya saja tak tahu. Ine itu orang yang suka menyendiri. Tak suka bersosialisasi. Itu menurutku"

"Jadi kalian tak saling berbicara?" Eza kembali mengajukan pertanyaan.

"Yah, bisa dibilang begitu. Teman-teman yang lain juga sedikit merasa tak suka dengan sikapnya yang selalu menghindar. Saat diskusi kelompokpun ia hanya diam seperti patung" ujar Riani menjelaskan. Sambil terus membuka lembaran-lembaran kertas putih yang telah berubah menjadi aneka warna. Buah karya dari goresan tangan Eza.

"Oh," respon Eza pendek. Seakan telah puas dengan penjelasan Rian.

"Jam!" Eza berseru. Ia lupa bahwa tadi ia meletakan jam tangannya di laci meja. "Ri, kamu duluan aja. Tu gambar bawa aja pulang" kata Eza dan kembali menuju kelasnya.

"Uhh" Eza menghembuskan napas lega saat melihat jam hitamnya masih ada disana.

Hari sangat terik, entah ada hasutan dari mana ia ingin pulang kerumah dengan berjalan kaki saja. Eza mengeluarkan topi dari ranselnya dan kemudian mengenakannya. Lalu ia mengeluarkan ponselnya dan memasang dua untaian kabel ketelinganya. Ia menekan tombol play pada ponselnya. Dengan musik pasti perjalananya akan terasa menyenangkan.

Ia melangkah menuju gerbang belakang sekolah. Karena jalanan disana lebih dekat dengan rumahnya.

"Lagi-lagi dia. Apa setiap hari ia menangis? Ada apa sebenarnya dengan gadis itu? Ah, apa harus peduli padanya?"

"Apa aku harus menghampirinya? Ah, tidak. Tak perlu sepertinya ini bukan waktu yang pas. Tapi, ia sangat terisak. Terserahlah apa tanggapannya nanti. Mencoba tak ada salahnya." Eza meyakinkan dirinya untuk menghampiri gadis itu.

"Hai, belum pulang?" tanya Eza basa-basi. Gadis itu kembali menyeka air matanya dan mengambil tasnya yang tadi tergeletak di atas rumput permadani itu.

"Tunggu!" Eza setengah berteriak saat gadis itu ingin pergi menjauhinya. Gadis itu menoleh dengan tatapan permusuhan. "Bisakah kita menjadi teman?" tambah Eza. Ia berkata tulus. Ia ingin mengenal gadis itu, berharap bisa membantunya. Hanya itu.

Lama-lama tatapan permusuhanya luruh. Gadis itu kembali duduk di tempatnya semula.

"Aku Eza" ucap Eza sambil mengulurkan tangannya.

"Aku tahu" jawabnya tanpa ekspresi tanpa membalas uluran tangan pemuda dihadapannya.

"Kamu tahu namaku Ine?" Eza bertanya. Sengaja ia menyebutkan nama gadis di sebelahnya. Berharap gadis itu bisa lebih ramah padanya.

"Kamu tahu namaku? Akukan bukan orang yang dikenal sepertimu karena potensimu di sekolah ini" jawabnya.

"Yeah! Berhasil" batin Eza. Setidaknya Ine telah mengeluarkan kalimat yang lebih panjang.

"Aku mengenalmu, juga karena kamu berpotensi" jawabnya yakin.

"Apa alasanmu bisa mengatakanku berpotensi?" tanya Ine. Ia tetap saja memandang lurus ke depan.

"Ineke Dirana, itu namamu kan?" ujar Eza sambil mengeluarkan selembar koran. " Tulisanmu berhasil dimuat di koran ini. Itu sebuah potensi luar biasa. Aku sangat menikmati kalimat demi kalimat diartikel yang kamu tulis" katanya lagi.

"Tidak, ku tahu kamu hanya menghiburku saya"

"Atas dasar apa kamu bisa mengatakan itu?" selidik Eza.

"Karena dalam beberapa hari ini kamu selalu mendapatiku yang tengah menangis" Ine kini beranjak dari rumput yang tadi ia duduki dan pergi tanpa menoleh ke arah Eza.

"Ternyata susah menakhlukannya. Ah, masih ada hari esok Eza" katanya sendiri dan kembali menekan tombol play pada ponselnya yang tadi sempat ia hentikan karena bercakap dengan gadis itu.

*
Di kamar ungu itu. Gadis itu termenung. "Dia orang pertama yang menatakan aku punya potensi. Apa itu benar? Tidak! Ia hanya berbohong. Oh, aku benci diriku. Kenapa aku harus sendiri. Kenapa aku tak memiliki teman? Aku tak bisa seperti mereka yang bisa berbicara di depan umum. Aku benci harus sendiri" gadis ini hanya bisa terisak di dalam kamarnya
*

Hari ini hari libur, lelaki ini binggung harus melakukan apa dihari liburnya ini. Biasanya setiap hari minggu ia selalu pergi bermain bola. "Ck" ia berdecak. Saat menatap layar ponselnya yang tetap saja tak bercahaya. "kenapa satupun tak ada yang membalas pesanku? Seperhitungan itukah mereka dengan pulsa? Atau pulsa mereka telah habis untuk bermalam mingguan. Dasar kere!" kata Eza kesal. Tak ada bola untuk minggu ini. Ia pergi menyusuri jalanan. Terus melangkah menghirup udara pagi. Berharap bisa menyegarkan fikaran negatifnya pada teman sepermainanya itu. Tak terasa ia telah berjalan cukup jauh. Kini gerbang belakang sekolah telah di hadapannya. Gerbang itu sedikit ternganga. Seakan mempersilakannya untuk masuk ke pekarangan sekolah. Aneh rasanya melihat suasana sekolah yang tak dipenuhi siswa siswi yang hilir mudik. "Ine" kata Eza sedikit terkejut. Lagi dan lagi ia bertemu dengan Ine secara tak sengaja. Ine menoleh, bibirnya sedikit menyuguhkan senyuman. Yah, senyuman pertama Ine yang pernah ia lihat. "Ada apa kamu datang kesini?" tanya Ine. Eza tahu pertanyaan ini adalah ibarat lampu hijau yang Ine berikan padanya agar ia bisa berteman. "Cuma jalan pagi biasa. Kebetulan rumahku ngga jauh dari sini. Kamu?" jawab dan tanya Eza. "Setiap pagi di hari libur aku selalu kesini. Untuk belajar. Belajar Mengelilingi koridor sekolah tanpa menaku. Aku berdiri di podium aula sekedar untuk belajar berbicara. Pak Ridwan sudah tak asing lagi dengan tingkah anehku disini disetiap pagi dihari libur. Kadang aku meminjam kunci kelasku pada beliau. Dengan alasan belajar. Aku bermonolog sendiri di depan kelas. Aku duduk dibangkuku. Berusaha mengingat pelajaran yang guru-guru berikan. Berharap aku bisa kembali membayangkan tulisan beliau di papan tulus. Kini ku tahu, ku yakin. Usahaku itu hanyalah kesiaan. Aku tetap seperti ini. Aku yang sulit menangkap pelajaran. Aku yang bisu, aku yang tak disukai, dan aku yang selalu lebih memilih menagis sebagai jalan keluarnya." Ine menghela napas. Benar saja gadis ini mulai meneteskan air matanya. Eza hanya terdiam. Berusaha menjadi telinga yang baik meski bila ia belum bisa menemukan solusi untuk gadis di sampingnya.

"Maaf, lagi kamu yang harus melihat air mataku" ujar gadis itu.

"Air mata itu bisa membuat kita merasa lega. Jika masih ada yang menganjal dihatimu teruskan saja. Aku akan mendengarnya. Papar Eza.

"Tidak, sudah cukup" jawab Ine. "apa aku boleh bertanya?"

"Yah," jawab Ine. "Mana yang lebih kamu sukai. Melihat, Mendengarkan, atau berbicara?" Eza mengajukan pertanyaan. Terlihat kerutan di dahi Ine.
"Pilih saja" tambah Eza.

Bersambung... :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mu(t)heNote : Bangga itu

Ngekos bareng bang Apin ( Republik Idola seri 1)

Orang yang pertama