Tak mengerti
Aku belum sepenuhnya mengenal dunia itu. Dunia yang kerap menyelimuti para remaja seusiaku.
Mungkin dunia itu terlampau jauh dariku.
Ia terselip terlalu dalam dijiwaku.
Membuatku sulit untuk menumbuhkan dan merasakannya.
*
Senyum kecutku suguhkan untuk sekian kali kearahnya. Lagi-lagi ia memberiku setumpuk buku yang tiapnya memiliki ketebalan yang beraneka.
"Apa kamu tidak bisa menyingkirkan buku-buku itu dariku?" ucapku padanya.
"Hey, ku mohon sekali ini saja bantu aku..."
"Sekali? Bukankah selalu ucapan yang lidahmu ucapkan?" selaku padanya.
"Sungguh! Ini untuk yang terakhir kalinya Hey..." ia kembali memelas kearahku.
"Tidak! Dan aku tidak akan pernah membuatkan tugasmu lagi Fin" ujarku seraya keluar dari perpustakaan.
Ia-Finan- hanya menghilangkan moodku saja hari ini. Aku tak akan pernah lagi mau diperbudak oleh lelaki 'badung' itu. Kenapa harus aku yang ia pilih menjadi temannya dari sekian banyak siswi di sekolah ini. Argh! Kenapa pula aku betah menjadi temannya beberapa tahun belakang ini. Ia hanya memanfaatiku saja. Awas! jika ia berani menampakan wujudnya di depanku.
"Biar aku yang mentraktirmu hari ini" oh tidak! Ia muncul dihadapanku dengan memamerkan giginya. Nindy adik sekelasku yang tadinya duduk disebelahku kini pergi mencari tempat duduk lain. Itu hal yang biasa bagiku karena setiap ia datang siswa-siswi lain pasti akan menjaga jarak dengannya. Berbahaya? Yah! Itu tepatnya yang mereka fikirkan. Finan temanku ini. Teman yang sampai sekarang aku masih binggung bagaimana aku dan dia bisa menjadi teman. Padahal tak sedikit orang yang antipati padanya. Ia dikenal sebagai murid pembuat onar bahkan skorsing langganan sehari-hari baginya. Sekali lagi aku bertanya. Mengapa aku dan dia bisa menjadi teman?
"Tidak perlu, aku tahu itu bukan uangmu!"
"Maksud lo apa?!" ia mengganti subjek. Itu biasa ia lakukan padaku disaat emosinya mulai meninggi. Seisi kantin mencuri lihat kearah kami. Sepertinya ia mengeluarkan suara yang cukup keras.
"Fikir sendiri Fin! Mungkin sekarang ada siswa yang menahan rasa laparnya karena ada 'seseorang' yang mengambil uangnya" jawabku setengah berbisik kearahnya dan langsung melangkah cepat meninggalkan kantin itu.
Usai kejadian itu lagi-lagi aku bertanya kenapa aku dan dia bisa berteman? Bukankah kami bertolak belakang. Aku adalah kebalikan dari semua sifat buruknya. Lalu kenapa itu bisa terjadi?
**
Aku melangkah gontai dari kelas dan kuhentikan langkahku di depan majalah dinding. Sepertinya mading ini belum diperbaharui.
"Ada pengumuman baru Hey?" tanya Dzikra teman sebangkuku yang tiba-tiba saja ada dibelakangku.
"Pengumumaanya masih yang lama semua, Zee kamu mau kemana?" jawabku sekalian bertanya padanya.
"Mau ke toilet, Daa!" jawabnya sambil melambaikan tangan kearahku.
"Udah ke toiletnya?" aku kembali bertanya saat melihat Zee sudah ada dibelakangku.
"Hey, temenin aku ke toilet" pinta Zee.
Aku memutar otakku. Tak biasanya Zee menjadi seorang yang penakut ke toilet.
"Itu...!" katanya lagi seolah ia bisa melihat tanda tanya yang berkedap-kedip di atas kepalaku. Jari telunjuknya mengarah ke segerombolan siswa yang tengah duduk di ujung koridor.
"Zee, jangan bilang kalau kamu takut melewati mereka?" kataku. Ia tidak mempedulikanku dan menarik tanganku secara paksa.
Aku menemaninya menuju toilet. Kemudian kami melewati segerombol pemuda yang tengah asyik berbicara. Sebagian ada yang tertawa.
"Hai Zee...!" salah seorang dari mereka menggoda Zee. Zee memang terkenal dengan parasnya yang elok. Wajar saja mereka melakukannya pada Zee. Kulihat ia ada disana. Aku tak peduli apakah ia masih marah padaku. Aku langsung menarik tangan Zee berbelok kearah kanan menjauhi pemuda-pemuda itu.
Usai menemani Zee ketoilet. Ia mengajakku ke perpustakaan. Aku tahu itu hanya alasannya saja agar ia tidak melewati koridor itu lagi. Karena arah perpustakaan berlawanan dengannya.
"Kamu aja Zee aku mau langsung ke kelas" kataku menolak ajakannya.
"Oke, Thanks ya Hey" balasnya.
Mungkin dunia itu terlampau jauh dariku.
Ia terselip terlalu dalam dijiwaku.
Membuatku sulit untuk menumbuhkan dan merasakannya.
*
Senyum kecutku suguhkan untuk sekian kali kearahnya. Lagi-lagi ia memberiku setumpuk buku yang tiapnya memiliki ketebalan yang beraneka.
"Apa kamu tidak bisa menyingkirkan buku-buku itu dariku?" ucapku padanya.
"Hey, ku mohon sekali ini saja bantu aku..."
"Sekali? Bukankah selalu ucapan yang lidahmu ucapkan?" selaku padanya.
"Sungguh! Ini untuk yang terakhir kalinya Hey..." ia kembali memelas kearahku.
"Tidak! Dan aku tidak akan pernah membuatkan tugasmu lagi Fin" ujarku seraya keluar dari perpustakaan.
Ia-Finan- hanya menghilangkan moodku saja hari ini. Aku tak akan pernah lagi mau diperbudak oleh lelaki 'badung' itu. Kenapa harus aku yang ia pilih menjadi temannya dari sekian banyak siswi di sekolah ini. Argh! Kenapa pula aku betah menjadi temannya beberapa tahun belakang ini. Ia hanya memanfaatiku saja. Awas! jika ia berani menampakan wujudnya di depanku.
"Biar aku yang mentraktirmu hari ini" oh tidak! Ia muncul dihadapanku dengan memamerkan giginya. Nindy adik sekelasku yang tadinya duduk disebelahku kini pergi mencari tempat duduk lain. Itu hal yang biasa bagiku karena setiap ia datang siswa-siswi lain pasti akan menjaga jarak dengannya. Berbahaya? Yah! Itu tepatnya yang mereka fikirkan. Finan temanku ini. Teman yang sampai sekarang aku masih binggung bagaimana aku dan dia bisa menjadi teman. Padahal tak sedikit orang yang antipati padanya. Ia dikenal sebagai murid pembuat onar bahkan skorsing langganan sehari-hari baginya. Sekali lagi aku bertanya. Mengapa aku dan dia bisa menjadi teman?
"Tidak perlu, aku tahu itu bukan uangmu!"
"Maksud lo apa?!" ia mengganti subjek. Itu biasa ia lakukan padaku disaat emosinya mulai meninggi. Seisi kantin mencuri lihat kearah kami. Sepertinya ia mengeluarkan suara yang cukup keras.
"Fikir sendiri Fin! Mungkin sekarang ada siswa yang menahan rasa laparnya karena ada 'seseorang' yang mengambil uangnya" jawabku setengah berbisik kearahnya dan langsung melangkah cepat meninggalkan kantin itu.
Usai kejadian itu lagi-lagi aku bertanya kenapa aku dan dia bisa berteman? Bukankah kami bertolak belakang. Aku adalah kebalikan dari semua sifat buruknya. Lalu kenapa itu bisa terjadi?
**
Aku melangkah gontai dari kelas dan kuhentikan langkahku di depan majalah dinding. Sepertinya mading ini belum diperbaharui.
"Ada pengumuman baru Hey?" tanya Dzikra teman sebangkuku yang tiba-tiba saja ada dibelakangku.
"Pengumumaanya masih yang lama semua, Zee kamu mau kemana?" jawabku sekalian bertanya padanya.
"Mau ke toilet, Daa!" jawabnya sambil melambaikan tangan kearahku.
"Udah ke toiletnya?" aku kembali bertanya saat melihat Zee sudah ada dibelakangku.
"Hey, temenin aku ke toilet" pinta Zee.
Aku memutar otakku. Tak biasanya Zee menjadi seorang yang penakut ke toilet.
"Itu...!" katanya lagi seolah ia bisa melihat tanda tanya yang berkedap-kedip di atas kepalaku. Jari telunjuknya mengarah ke segerombolan siswa yang tengah duduk di ujung koridor.
"Zee, jangan bilang kalau kamu takut melewati mereka?" kataku. Ia tidak mempedulikanku dan menarik tanganku secara paksa.
Aku menemaninya menuju toilet. Kemudian kami melewati segerombol pemuda yang tengah asyik berbicara. Sebagian ada yang tertawa.
"Hai Zee...!" salah seorang dari mereka menggoda Zee. Zee memang terkenal dengan parasnya yang elok. Wajar saja mereka melakukannya pada Zee. Kulihat ia ada disana. Aku tak peduli apakah ia masih marah padaku. Aku langsung menarik tangan Zee berbelok kearah kanan menjauhi pemuda-pemuda itu.
Usai menemani Zee ketoilet. Ia mengajakku ke perpustakaan. Aku tahu itu hanya alasannya saja agar ia tidak melewati koridor itu lagi. Karena arah perpustakaan berlawanan dengannya.
"Kamu aja Zee aku mau langsung ke kelas" kataku menolak ajakannya.
"Oke, Thanks ya Hey" balasnya.
Komentar
Posting Komentar