Pesawat Kertas Pembawa Kebenaran
Suasana subuh yang begitu mempesona awan-awan keoren-orennan menyambut dibalik jendela. Dari ufuk timur terpercik secercah cahaya kekuning-kuningan yang siap untuk melaksanakan tugasnya hari ini. Sinar itu berlahan membesar dan akhirnya akan menerangi seluruh jagad raya nantinya. Seorang gadis sedang melakukan inspirasi untuk menyegarkan otaknya. Sejuk udara subuh itu merupakan antivirus baginya agar bisa menetralkan isi kepalanya. Kembali ia memandang perumahan disekelilingngya.
“ Rumah? ” gumam gadis itu dalam hati.
“ inikah rumah? ” ia bertanya sekali lagi kepada hatinya.
“ pantaskah ini disebut dengan rumah idaman? ” ia bertanya sekali lagi , tapi tidak kepada hatinya melainkan kepada organ tubuhnya yang lain.
Bunyi kuali, panic berserta kawan-kawannya terdengar begitu hiruk-pikuk. Bahkan karena ia tinggal dikawasan rumah makan atau restaurant, itu semua melainkan suara perlalatan dapur yang menjadi korban pertikaian antara bibi dan pamannya. Telah 10 tahun ia tinggal bersama keluarga bibinya. Setelah ayahnya meninggal 10 tahun silam. Bahkan ia juga sering menjadi korban dari pertikaian itu. sedangkan seorang sosok ibu yang didambakan telah tiada pula setelah bersusah payah mengorbankan nyawanya demi gadis itu.
Sekarang matanya memandangi tetesan embun yang kian membasahi dedaunan. Pandangannya kini mengamati perbukitan yang tepat berada di belakang sekolahnya. Jalan merah yang tepat berada di tengah bukit itu seperti ingin mengubah sang bukit menjadi dua bagian. Jalan merah yang begitu banyak menyimpan tanda Tanya. Kini gadis itu kini membalikakan badannya, sekarang ia tepat berhadapan dengan sehelai rok yang tergantung lesu dengan renda-renda simple berwarna silver. Rok yang begitu sederhana tapi terkesan begitu anggun. Itu adalah barang pemberian terakhir dari ayahnya dan sama sekali belum pernah ia kenakan.
“ sejak kapan aku tidak pernah lagi mengenakan rok? Ya … selain pergi kesekolah ”
“ 10 tahun shilla…” ucap hatinya yang seolah menjawab pertanyaannya tadi.
Shilla membalikkan badannya ke jendela. Ia terkejut ternyata lamunannya sejak subuh tadi terlalu lama. Sinar kekunung-kuningan itu kini telah membesar menerangi jagad raya. Ia telah mulai melaksanakan tugasnya hari ini.
“ Astaga ” ucapnya terkejut ketika melihat jam dinding yang menunjukan pukul 06.00. tanpa berfikir panjang ia menuju kamar mandi dan langsung memakai seragam Senior High Briliant Islamic *asalan.com* dan memandangi dirinya ke cermin. Penampilannya begitu berantakan, rambut yang setiap hari hanya di sisir jari * emang iklan shampo* untunglah rambut itu hanya sebahunya saja jika lebih panjang lagi pasti rambut itu telah menjerit-jerit meminta ampun kepada majikannya, dasi yang terpasang terlalu kekiri, sangat berbeda dengan siswa-siswi lain di sekolahnya. Yang terlihat begitu anggun saat memakai seragam itu. seragam dengan rompi polos sebahu ditambah dengan kemeja putih didalamnya dengan isen-isen perpaduan antara garis horizontal dan vertical yang membentuk kotak-kotak tak sama besar pada kemeja itu. ditambah dengan dasi yang selalu terpasang rapi dan tak lupa pula dengan lambing segi eman yang menempel di lengan atas sebelah kiri mereka. Segi enam itu melambangkan kemewahan sekolah itu dan terdapat sebuah tulisan kaligrafi didalam segi eman itu yang bertuliskan “ ISLAM ”.
“ tau ah.. percuma kalau dirapiinnya sekarang,, toh nanti waktu sampai disekolah ni baju udah keluar keluar lagi,” ucapnya untuk sekian kalinya kepada dirinya sendiri..
Segera ia raih topi dan tasnya yang berwarna serba hitam. Ketika Shilla ingin keluar dari kamar ia melupakan sesuatu, kembali dibukannya lemari dan mengambil barang serba putih dan langsung memasukan kedalam tasnya. Sekarang ia berjalan menuju meja kecil yang berada di sebelah tempat tidurnya dan membuka lacinya.
“ Putih-kuning-orange-hijau-.. Aaha.. ini Biru ” ucapnya senang ketika melihat seuntas kain berwarna biru.
Kali ini ia lebih tergesa-gesa untuk meraih klop pintu.
“ Prakkkk……!!! ”tak sengaja ia menendang sebuah kotak yang berada di dekat pintu hingga semua isi kotak pilkadot itu menyembur(emang air?) keluar. Ia segera membereskannya.
“ Kertas itu….” Ucapnya lirih dimasukannya kertas itu kedalam rompi seragamnya dan lekas menutup kembali kotak itu.
“ Bi, Shilla pergi dilu ‘ Assalamua’laikum ” ucap Shilla berpamitan kepada bibinya.
Segera ia raih sepeda kebanggaannya, kini ia akan berjuang dengan sepedanya untuk menempuh perjalananya sejauh 4 km kesekolahnya.
***
Tepat saja ketika ia baru tiba didepan gerbang bel berbunyi. Berhubung tempat parker di sekolahnya hanya khusus untuk kendaraan mewah. Shilla sudah terbiasa memarkirkan sepedannya dig belakang sekolah. Ia tau diri bahwa sepedannya tak layak untuk bertengger (?) disana/ tak lupa ia berkaca di kaca jendela labaoratorium yang berwarna serba hitam untuk merapikan diri setelah menempuh perjalannan kesekolah.
“Tu kan apa aku bilang ni baju emang bandel” ia tersenyum dan merapikan seragamnya.
Lalu ia pergi menuju kelas XI-IPA VIII yang merupakan kelas unggulan disekolah itu. ia bersyukur bisa bersekolah disana dikarenakan beasiswa prestasi akademik maupun non akademik.tapi terkadang ia menyesal bersekolah disana disebabkan siswa siswinya yang begitu angkuh satu hal lagi yang tak disukainya yaitu dengan gelar “ AUTIS ” yang diberikan teman-temannya yang sebenarnya tak pantas disebut sebagai teman. Mungkin karena sikapnya yang selalu diam seribu bahasa hingga tatapan matanya yang selalu hampa, sikapnya yang terlalu cuek dengan teman-temannya yang terkadang hanya memanfaatkannya saja. Hingga ia lebih memilih untuk tidak berteman atau berusaha mendekati mereka.
“ untuk pelajaran kali ini tolong tuliskan impian kalian, agar ibu lebih mudah menuntun dan mengarahkan kalian untuk mengapainya” ucap bu Winda yang merupakan guru bimbingan konsling mereka. Semua anak menuliskan impian mereka bahkan sebagian telah ada yang mengumpulkan kertas itu ke bu Winda.
“ ARSITEK ” hanya kata itu yang terlintas dibenaknya.ia bergegas mengumpulkan kertas itu kedepan karena ia menyangka hanya ia seorang yang belum mengumpulkan kertas itu. ternyata dugaannya salah seorang lalaki berkulit hitam manis baru beranjak dari bangkunya dan kini juga berjalan untuk mengumpulkan kertas impiannya dan meletakan kertas itu tepat menindih kertas SHIlla yang berada dibawahnya. Hingga kertas lelaki itu berada pada tumpukan teratas.
“ ARSITEK…ternyata ada dua orang yang ingin menjadi arsitek” ucap bu winda sambil membalik-balikan tumpukan kertas itu.
“ Siapa bu?” Tanya Deva penasaran
“ Mario Aditya haling dan Ashilla Zahrantiara ” jawab bu winda
“ Rio emang jagonya tu buk dalam soal gambar-mengambar ” ucap keke antusias.
“ tapi kalau si ‘Au..’” dea yang duduk disebelah keke menghentikan kata-katanya sejenak sambil melirik shila sinis. Sementara Shila yang duduk dibangku paling depan bisa menebak lanjutan dari kata-kata yang akan dilanjutkan oleh dea apa lagi kalau bukan ‘TIS’ ucap Shilla kesal di dalam hatinya
“ Tis, mana mungkin bisa” tambah dea menyambung kata-katanya yang masih menggantung tadi.
***
Bel pulang telah berbunyi Shila pergi menuju toilet dan mengeluarkan seragam karatenya kemudian mengikatkan sabu birunya di pinggang. Ia mengikat ulang rambutnya dengan ikatan yang lebih tinggi. Ia menggengam rambutnya dengan tangan kiri dan tangan kananya siap untuk mengikat rambutnya dengan kuncir berwarna hitam. Shila bergegas menuju aula karate karena telah menjadi senior dengan sabu birunya tinggal dua tingkatan lagi maka ia akan mendapatkan sabu dengan warn kesukaannya apalagi kalau bukkan warna hitam. Dengan ceria ia mengajarkan adik-adik kelasnya. Ternyata ada seorang sosok lelaki yang memperhatikannya sejak tadi tanpa ia sadari.
“ dia begitu berbeda jika telah bergelut dengan karate, disini matanya begitu berbinar-binar, selalu terenyum bahkan satu senyumannya pun nggak pernah gue liat ketika dia ada dikelas, inilah dunianya” ucap lelaki tu dan berlalu.
***
Shilla sedang termenung di belakang bukit sekolah itu adalah kebiasaan yang ia lakukan setelah usai latihan karate tentunya setelah ia melaksanakan solat Ashar terlebih dahulu di masjid nan megah di sekolahnya. Entah mengapa duduk di bukit itu sangat membuatnya nyaman ia selalu berlangganan duduk dibawah pohon jati yang dedaunanya berwarna kuning-kuningan di setiap awal mei karena ia perlu merangga dan menggugurkan daunnya. Tak jauh dari pepohonan jati itu ada beberapa gundukan gundukan tanah yang tak rata. *namanya juga bukit kalau datar data raja jalan namanya ; )* Shila membuka ranselnya dan mengeluarkan secarik kertas dari rompinya. Ia terus memandangi sketsa pada kertas itu. gambar-gambar symbol persegi yang berarti perumahan, segitiga yang berarti pepohonan, dan banyak symbol symbol lainnya dengan keterangan dibawannya. Dan ada lambing X pada salah satu segitiga yang berwarna kuning. Dibawahnya bertuliskan sebuah kalimat.
“ temukan kota kecil ini maka kau akan mendapatkan apa yang kau cari. Ku tunggu kau setiap 10 mei dikota kecil ini. Jika kau telah berhasil menemukannya maka katakanan ‘symbol telah terpecahkan!! Sekencang-kencangnya, maka aku akan menghampirimu. ”
Ingatannya kini melayang ke 10 tahun yan lalu. Tragedy berdarah di jala merah itu. ketika ayahnya meninggal di pukuli dua orang lelaki tak dikenal. Bahkan jenazah ayahnya dimana dikuburkan ia tak tau, kedua orang tak dikenal itu memasukan ayahnya kedalam sebuah mobil jeep berwarna hitam. Shilla hanya bisa menagis memohon kepada orang itu agar melepaskan lelaki yang sangat dicintainya. Tapi apalah daya usianya saat itu baru 6tahun. Setiap hari ia selalu menyusuri jalan melah itu berharap akan bertemu dengan sang ayah. Tapi hanya bayangan semu yang ditemukannya. Di hari ketiga ketika ia sedang menangis di jalan merah itu yang kini membuatnya menjadi sosok yang tegar. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang melemparkan sebuah pesawat kertas kearahnya. Ketika Shilla ingin memanggil sosok itu lelaki itu telah lenyap. Telah 10 tahun kota kecil itu belum ia temukan.
Senja kala itu menemaninya mengayuh sepeda menuruni perbukitan itu, malam harinya ia terus memikirkan kota kecil dan symbol-simbol itu. terlintas di fikirannya untuk membuat miniature kota itu agar kelak terlihat nyata. Shila mengeluarkan peralatan sederhana untuk membuat kota kecil itu. triplek, gabus, spons, lem, gunting, penggaris, cat dan kuas telah siap. Kini tangannya telah mengutak atik peralatan itu. ia pun memblender spon berwarna kuning dan berwarna hijau. Kini ia keluarv untuk mengambil beberapa pucuk ranting. Dilumurinya pucuk ranting itu dengan lem dan ia guling-gulingkan pucuk ranting yang telah diberi lam tadi ke spons berwrna hijau dan kuning. Hingga terbentuklah beberapa pohon yang sangat mini. Selanjutnya busa yang dipotong hingga membentuk miniature rumah. Di tempelkannya semua itu sacara detail menurut sketsa gambar yang berbentuk symbol bangun datar itu. beberapa jam kemudian kota kecil itu selesai dan terlihat begitu nyata. De javu ia rasakan“ aku tau tempatnya” ucapnya sambil menitikkan air mata alam.
Keesokan harinya kebetulan bertepatan dengan tanggal 10 mei. Gadis yang sejak malam kemarin itu hanya menangis kini ia meraih rok pemberian dari ayahnya yang dulu sebenarnya rok itu hingga mata kakinya tapi sekarang rok itu hanya berada tepat di untunglah pada pinggangnya terbuat dari karet hingga walaupun sedikit kekecilan tapi tetap layak untuk ia kenakan. Gadis itu pergi menuju tempat itu, ia berhenti disebuah tempat yang tak asing lagi baginya. “inikah jawabannya? Mengapa aku begitu nyaman berada dibawah pohon ini?” ucapnya begitu lirih.
“ symbol telah dipecahkan ” ucap Shila sekencang-kencangnya maka keluarlah seorang lelaki dengan wajah yang sang familiar. “KAU…..!!” ucap Shilah marah sambil berlingan air mata.
“bukan aku atau keluargaku, tak sengaja aku melihat pristiwa itu aku melihat jenazah ayahmu dikuburkan disana” ucap rio menjelaskan sambil menujuk sebuah gundukan tanah
“sebenarnya aku tau kau adalah gadis yang ku temukan 10 tahun lalu, karena setiap 10 mei aku selalu disini dan aku selalu melihat kau setiap tangal itu, tapi kau tak pernah meneriakkan kata symbol telah terpecahkan dan aku tau bahwa kau belum berhasil menemukannya.” Tambah rio menyakinkan gadis didepan matanya.
“ trimakasih atas pesawat kertasmu” ucap Shilla tulus
Rio hanya merespon ucapan terimakasih gadis itu dengan senyum tulusnya, dan mengambil kertas yang berada ditangan Shilla dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas kembali.
“ terbangkanlah pesawat ini untuk melepas rindumu dengan ayahmu” ucap rio sambil memberikan pesawat itu ke Shilla
Shilla menganguk dan mengambil pesawat itu. kini pesawat itu telah terbang bersamaan dengan daun jati yang berguguran, mememaninya terbang untuk sebuah kebenaran selanjutnya.
TAMAT…….
“ Rumah? ” gumam gadis itu dalam hati.
“ inikah rumah? ” ia bertanya sekali lagi kepada hatinya.
“ pantaskah ini disebut dengan rumah idaman? ” ia bertanya sekali lagi , tapi tidak kepada hatinya melainkan kepada organ tubuhnya yang lain.
Bunyi kuali, panic berserta kawan-kawannya terdengar begitu hiruk-pikuk. Bahkan karena ia tinggal dikawasan rumah makan atau restaurant, itu semua melainkan suara perlalatan dapur yang menjadi korban pertikaian antara bibi dan pamannya. Telah 10 tahun ia tinggal bersama keluarga bibinya. Setelah ayahnya meninggal 10 tahun silam. Bahkan ia juga sering menjadi korban dari pertikaian itu. sedangkan seorang sosok ibu yang didambakan telah tiada pula setelah bersusah payah mengorbankan nyawanya demi gadis itu.
Sekarang matanya memandangi tetesan embun yang kian membasahi dedaunan. Pandangannya kini mengamati perbukitan yang tepat berada di belakang sekolahnya. Jalan merah yang tepat berada di tengah bukit itu seperti ingin mengubah sang bukit menjadi dua bagian. Jalan merah yang begitu banyak menyimpan tanda Tanya. Kini gadis itu kini membalikakan badannya, sekarang ia tepat berhadapan dengan sehelai rok yang tergantung lesu dengan renda-renda simple berwarna silver. Rok yang begitu sederhana tapi terkesan begitu anggun. Itu adalah barang pemberian terakhir dari ayahnya dan sama sekali belum pernah ia kenakan.
“ sejak kapan aku tidak pernah lagi mengenakan rok? Ya … selain pergi kesekolah ”
“ 10 tahun shilla…” ucap hatinya yang seolah menjawab pertanyaannya tadi.
Shilla membalikkan badannya ke jendela. Ia terkejut ternyata lamunannya sejak subuh tadi terlalu lama. Sinar kekunung-kuningan itu kini telah membesar menerangi jagad raya. Ia telah mulai melaksanakan tugasnya hari ini.
“ Astaga ” ucapnya terkejut ketika melihat jam dinding yang menunjukan pukul 06.00. tanpa berfikir panjang ia menuju kamar mandi dan langsung memakai seragam Senior High Briliant Islamic *asalan.com* dan memandangi dirinya ke cermin. Penampilannya begitu berantakan, rambut yang setiap hari hanya di sisir jari * emang iklan shampo* untunglah rambut itu hanya sebahunya saja jika lebih panjang lagi pasti rambut itu telah menjerit-jerit meminta ampun kepada majikannya, dasi yang terpasang terlalu kekiri, sangat berbeda dengan siswa-siswi lain di sekolahnya. Yang terlihat begitu anggun saat memakai seragam itu. seragam dengan rompi polos sebahu ditambah dengan kemeja putih didalamnya dengan isen-isen perpaduan antara garis horizontal dan vertical yang membentuk kotak-kotak tak sama besar pada kemeja itu. ditambah dengan dasi yang selalu terpasang rapi dan tak lupa pula dengan lambing segi eman yang menempel di lengan atas sebelah kiri mereka. Segi enam itu melambangkan kemewahan sekolah itu dan terdapat sebuah tulisan kaligrafi didalam segi eman itu yang bertuliskan “ ISLAM ”.
“ tau ah.. percuma kalau dirapiinnya sekarang,, toh nanti waktu sampai disekolah ni baju udah keluar keluar lagi,” ucapnya untuk sekian kalinya kepada dirinya sendiri..
Segera ia raih topi dan tasnya yang berwarna serba hitam. Ketika Shilla ingin keluar dari kamar ia melupakan sesuatu, kembali dibukannya lemari dan mengambil barang serba putih dan langsung memasukan kedalam tasnya. Sekarang ia berjalan menuju meja kecil yang berada di sebelah tempat tidurnya dan membuka lacinya.
“ Putih-kuning-orange-hijau-.. Aaha.. ini Biru ” ucapnya senang ketika melihat seuntas kain berwarna biru.
Kali ini ia lebih tergesa-gesa untuk meraih klop pintu.
“ Prakkkk……!!! ”tak sengaja ia menendang sebuah kotak yang berada di dekat pintu hingga semua isi kotak pilkadot itu menyembur(emang air?) keluar. Ia segera membereskannya.
“ Kertas itu….” Ucapnya lirih dimasukannya kertas itu kedalam rompi seragamnya dan lekas menutup kembali kotak itu.
“ Bi, Shilla pergi dilu ‘ Assalamua’laikum ” ucap Shilla berpamitan kepada bibinya.
Segera ia raih sepeda kebanggaannya, kini ia akan berjuang dengan sepedanya untuk menempuh perjalananya sejauh 4 km kesekolahnya.
***
Tepat saja ketika ia baru tiba didepan gerbang bel berbunyi. Berhubung tempat parker di sekolahnya hanya khusus untuk kendaraan mewah. Shilla sudah terbiasa memarkirkan sepedannya dig belakang sekolah. Ia tau diri bahwa sepedannya tak layak untuk bertengger (?) disana/ tak lupa ia berkaca di kaca jendela labaoratorium yang berwarna serba hitam untuk merapikan diri setelah menempuh perjalannan kesekolah.
“Tu kan apa aku bilang ni baju emang bandel” ia tersenyum dan merapikan seragamnya.
Lalu ia pergi menuju kelas XI-IPA VIII yang merupakan kelas unggulan disekolah itu. ia bersyukur bisa bersekolah disana dikarenakan beasiswa prestasi akademik maupun non akademik.tapi terkadang ia menyesal bersekolah disana disebabkan siswa siswinya yang begitu angkuh satu hal lagi yang tak disukainya yaitu dengan gelar “ AUTIS ” yang diberikan teman-temannya yang sebenarnya tak pantas disebut sebagai teman. Mungkin karena sikapnya yang selalu diam seribu bahasa hingga tatapan matanya yang selalu hampa, sikapnya yang terlalu cuek dengan teman-temannya yang terkadang hanya memanfaatkannya saja. Hingga ia lebih memilih untuk tidak berteman atau berusaha mendekati mereka.
“ untuk pelajaran kali ini tolong tuliskan impian kalian, agar ibu lebih mudah menuntun dan mengarahkan kalian untuk mengapainya” ucap bu Winda yang merupakan guru bimbingan konsling mereka. Semua anak menuliskan impian mereka bahkan sebagian telah ada yang mengumpulkan kertas itu ke bu Winda.
“ ARSITEK ” hanya kata itu yang terlintas dibenaknya.ia bergegas mengumpulkan kertas itu kedepan karena ia menyangka hanya ia seorang yang belum mengumpulkan kertas itu. ternyata dugaannya salah seorang lalaki berkulit hitam manis baru beranjak dari bangkunya dan kini juga berjalan untuk mengumpulkan kertas impiannya dan meletakan kertas itu tepat menindih kertas SHIlla yang berada dibawahnya. Hingga kertas lelaki itu berada pada tumpukan teratas.
“ ARSITEK…ternyata ada dua orang yang ingin menjadi arsitek” ucap bu winda sambil membalik-balikan tumpukan kertas itu.
“ Siapa bu?” Tanya Deva penasaran
“ Mario Aditya haling dan Ashilla Zahrantiara ” jawab bu winda
“ Rio emang jagonya tu buk dalam soal gambar-mengambar ” ucap keke antusias.
“ tapi kalau si ‘Au..’” dea yang duduk disebelah keke menghentikan kata-katanya sejenak sambil melirik shila sinis. Sementara Shila yang duduk dibangku paling depan bisa menebak lanjutan dari kata-kata yang akan dilanjutkan oleh dea apa lagi kalau bukan ‘TIS’ ucap Shilla kesal di dalam hatinya
“ Tis, mana mungkin bisa” tambah dea menyambung kata-katanya yang masih menggantung tadi.
***
Bel pulang telah berbunyi Shila pergi menuju toilet dan mengeluarkan seragam karatenya kemudian mengikatkan sabu birunya di pinggang. Ia mengikat ulang rambutnya dengan ikatan yang lebih tinggi. Ia menggengam rambutnya dengan tangan kiri dan tangan kananya siap untuk mengikat rambutnya dengan kuncir berwarna hitam. Shila bergegas menuju aula karate karena telah menjadi senior dengan sabu birunya tinggal dua tingkatan lagi maka ia akan mendapatkan sabu dengan warn kesukaannya apalagi kalau bukkan warna hitam. Dengan ceria ia mengajarkan adik-adik kelasnya. Ternyata ada seorang sosok lelaki yang memperhatikannya sejak tadi tanpa ia sadari.
“ dia begitu berbeda jika telah bergelut dengan karate, disini matanya begitu berbinar-binar, selalu terenyum bahkan satu senyumannya pun nggak pernah gue liat ketika dia ada dikelas, inilah dunianya” ucap lelaki tu dan berlalu.
***
Shilla sedang termenung di belakang bukit sekolah itu adalah kebiasaan yang ia lakukan setelah usai latihan karate tentunya setelah ia melaksanakan solat Ashar terlebih dahulu di masjid nan megah di sekolahnya. Entah mengapa duduk di bukit itu sangat membuatnya nyaman ia selalu berlangganan duduk dibawah pohon jati yang dedaunanya berwarna kuning-kuningan di setiap awal mei karena ia perlu merangga dan menggugurkan daunnya. Tak jauh dari pepohonan jati itu ada beberapa gundukan gundukan tanah yang tak rata. *namanya juga bukit kalau datar data raja jalan namanya ; )* Shila membuka ranselnya dan mengeluarkan secarik kertas dari rompinya. Ia terus memandangi sketsa pada kertas itu. gambar-gambar symbol persegi yang berarti perumahan, segitiga yang berarti pepohonan, dan banyak symbol symbol lainnya dengan keterangan dibawannya. Dan ada lambing X pada salah satu segitiga yang berwarna kuning. Dibawahnya bertuliskan sebuah kalimat.
“ temukan kota kecil ini maka kau akan mendapatkan apa yang kau cari. Ku tunggu kau setiap 10 mei dikota kecil ini. Jika kau telah berhasil menemukannya maka katakanan ‘symbol telah terpecahkan!! Sekencang-kencangnya, maka aku akan menghampirimu. ”
Ingatannya kini melayang ke 10 tahun yan lalu. Tragedy berdarah di jala merah itu. ketika ayahnya meninggal di pukuli dua orang lelaki tak dikenal. Bahkan jenazah ayahnya dimana dikuburkan ia tak tau, kedua orang tak dikenal itu memasukan ayahnya kedalam sebuah mobil jeep berwarna hitam. Shilla hanya bisa menagis memohon kepada orang itu agar melepaskan lelaki yang sangat dicintainya. Tapi apalah daya usianya saat itu baru 6tahun. Setiap hari ia selalu menyusuri jalan melah itu berharap akan bertemu dengan sang ayah. Tapi hanya bayangan semu yang ditemukannya. Di hari ketiga ketika ia sedang menangis di jalan merah itu yang kini membuatnya menjadi sosok yang tegar. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang melemparkan sebuah pesawat kertas kearahnya. Ketika Shilla ingin memanggil sosok itu lelaki itu telah lenyap. Telah 10 tahun kota kecil itu belum ia temukan.
Senja kala itu menemaninya mengayuh sepeda menuruni perbukitan itu, malam harinya ia terus memikirkan kota kecil dan symbol-simbol itu. terlintas di fikirannya untuk membuat miniature kota itu agar kelak terlihat nyata. Shila mengeluarkan peralatan sederhana untuk membuat kota kecil itu. triplek, gabus, spons, lem, gunting, penggaris, cat dan kuas telah siap. Kini tangannya telah mengutak atik peralatan itu. ia pun memblender spon berwarna kuning dan berwarna hijau. Kini ia keluarv untuk mengambil beberapa pucuk ranting. Dilumurinya pucuk ranting itu dengan lem dan ia guling-gulingkan pucuk ranting yang telah diberi lam tadi ke spons berwrna hijau dan kuning. Hingga terbentuklah beberapa pohon yang sangat mini. Selanjutnya busa yang dipotong hingga membentuk miniature rumah. Di tempelkannya semua itu sacara detail menurut sketsa gambar yang berbentuk symbol bangun datar itu. beberapa jam kemudian kota kecil itu selesai dan terlihat begitu nyata. De javu ia rasakan“ aku tau tempatnya” ucapnya sambil menitikkan air mata alam.
Keesokan harinya kebetulan bertepatan dengan tanggal 10 mei. Gadis yang sejak malam kemarin itu hanya menangis kini ia meraih rok pemberian dari ayahnya yang dulu sebenarnya rok itu hingga mata kakinya tapi sekarang rok itu hanya berada tepat di untunglah pada pinggangnya terbuat dari karet hingga walaupun sedikit kekecilan tapi tetap layak untuk ia kenakan. Gadis itu pergi menuju tempat itu, ia berhenti disebuah tempat yang tak asing lagi baginya. “inikah jawabannya? Mengapa aku begitu nyaman berada dibawah pohon ini?” ucapnya begitu lirih.
“ symbol telah dipecahkan ” ucap Shila sekencang-kencangnya maka keluarlah seorang lelaki dengan wajah yang sang familiar. “KAU…..!!” ucap Shilah marah sambil berlingan air mata.
“bukan aku atau keluargaku, tak sengaja aku melihat pristiwa itu aku melihat jenazah ayahmu dikuburkan disana” ucap rio menjelaskan sambil menujuk sebuah gundukan tanah
“sebenarnya aku tau kau adalah gadis yang ku temukan 10 tahun lalu, karena setiap 10 mei aku selalu disini dan aku selalu melihat kau setiap tangal itu, tapi kau tak pernah meneriakkan kata symbol telah terpecahkan dan aku tau bahwa kau belum berhasil menemukannya.” Tambah rio menyakinkan gadis didepan matanya.
“ trimakasih atas pesawat kertasmu” ucap Shilla tulus
Rio hanya merespon ucapan terimakasih gadis itu dengan senyum tulusnya, dan mengambil kertas yang berada ditangan Shilla dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas kembali.
“ terbangkanlah pesawat ini untuk melepas rindumu dengan ayahmu” ucap rio sambil memberikan pesawat itu ke Shilla
Shilla menganguk dan mengambil pesawat itu. kini pesawat itu telah terbang bersamaan dengan daun jati yang berguguran, mememaninya terbang untuk sebuah kebenaran selanjutnya.
TAMAT…….
Komentar
Posting Komentar