Weker Merah
Dentanggan jarum
Takkan pernah berhenti
Seperti kereta yang amat cepat
Yang terus melaju tanpa henti
Lalu ia akan meninggalkan
Siapa saja yang tak mampu mengikuti ritmenya
***
“Aku pemenangnya!” ucapku karena telah bangun lebih dulu sebelum wekerku berbunyi. Aku beranjak dari perbaringanku lalu menuju kamar mandi dan langsung mengambil wudhu. Tak lupa aku berdoa kepada sang pencipta. Mungkin aku terlihat lebih khusyuk dari biasanya. Yah! benar. karena hari ini adalah hari besar bagiku.
Kukenakan seragam dengan rapi. Tentu lebih rapi dari biasanya.
“Kau harus temani aku hari ini.” Kataku lagi-lagi pada benda tak bernyawa itu dan memasukkannya ke dalam tas. Kini kumelangkah menuruni anak tangga kulihat ibu dan ayahku telah menanti di meja makan dengan senyuman menghiasi wajah mereka.
“Kamu pasti deg-degan hari ini.” Ucap Ibuku.
“Sedikit Bu.” Jawabku.
“Apa benar sekolah tidak mengundang orang tua?” Selidik Ayahku. Aku sangat mengerti arti dari ucapannya.
“Walau anak lelaki suka berbohong dengan tidak memberikan undangan kepada orang tua. Tapi kali ini anakmu ini tidak berbohong Ayah. ” Jawabku sekenanya.
“Baguslah kalu begitu. Ingat setelah tau hasilnya kamu harus pulang. Ibu dan ayah tak sabar ingin mendengar berita gembira itu. ” Kata Ayah lagi.
“Iya, Bu, Yah aku berangkat dulu. ” Ujarku dan langsung meninggalkam meja makan.
*
Motorku kini telah menyusuri jalanan ibu kota yang sangat membisingkan. Setiba di sekolah suasana masih sepi. Sepertinya aku tiba terlalu pagi. Kuparkir motorku dan aku terus saja menyusuri pekarangan sekolahku. Ku hempaskan tasku di rerumputan hijau yang tumbuh subur disana. Sebenarnya aku ingin sekali berbaring di atas rerumputan itu. Tapi kutepiskan niat itu karena takut bajuku akan meninggilkan lipatan-lipatan yang tak enak dipandang mata. Bukankah hari ini hari besar?
Kukeluarkan benda segi empat seukuran telapak tanganku. Kupandangi jarum yang terus berputar menyusuri angka demi angka. Weker merah ini telah menjadi milikku sekarang. Inilah hadiah terindah yang pernah kudapatkan tentunya dari sosok yang luar biasa.
“Rio, pengumumannya sudah mau dimulai!”
Aku mendongakkan kepalaku tatkala mendengar seorang berucap padaku. “ Iya, sebentar lagi aku akan menyusul” Kataku pada Keke teman satu kelasku. Akupun langsung menuju aula.
Seperti biasa sebelum memasuki acara inti tentulah guru-guruku banyak menyampaikan petua-petua untuk siswa-siswinya. Disetiap itu pula aku selalu saja menguap. Entah telah berapa lama Kepala Sekolah berbicara di atas sana.
“ …Untuk pengumuman kelulusan tahun telah di tempel di kantor, silakan kalian lihat disana dan jangan berdesak-desakakan… ”
Hanya kalimat inilah yang membuatku berhenti menguap. Satu-persatu siswa-siswi keluar dari aula begitu pula denganku. Jika sekolah memberikan pengumuman dengan cara di pampang di kantor kemungkinan besar siswa-siswi di sini lulus 100%. Karena jika ada salah seorang siswa yang tidak lulus tentulah sekolah mengumumkan dengan cara pemberian amplop kelulusan. Setidaknya aku berusaha berfikir positif.
Walaupun kepala sekolah tadi mengatakan jangan berdesak-desakan. Tetap saja teman-temanku tak sabaran. Buktinya papan pengumuman telah sesak dikerumbuni banyak orang. Akan kutunggu tempat itu sepi. Ah, bodohnya aku. Tak mungkin tempat itu akan sepi. Bukankah ia menjadi tempat paling favorit hari ini?
Papan pengumuman itu kini telah berkurang peminatnya.Sekarang giliranku untuk kesana. Sengaja kucari namaku dari urutan terbawah. Di lembar terakhir tak kutemukan namaku. Mataku terus saja menyusuri lembar demi lembar kertas pengumuman itu. mataku telah lelah melihat baris demi baris tulisan yang memuat nama-nama siswa sebanyak 450 orang. kini harapanku tergantung pada kertas lembaran pertama. Apakah mungkin namaku tercantum di lembar pertama? Jika itu adalah suatu hal yang mustahil tentu aku akan penelan kepahitan setelah ini. Dengan artian ’Tidak Lulus’. Alhamdulilah namaku tertera di sana di nomor urut 25. Tepatnya urutan terakhir dilembaran itu. Tapi itu suatu hal yang sangat hebat bagiku. Sungguh ini adalah hari yang besar.
Aku terus membaca nama-nama yang tertera di lembar pertama. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku menyingkir dari papan pengumuman itu. Ku kendarai motorku dan akupun pergi meninggalkan sekolah. Kugas sekuat-kuatnya motor yang kukendarai karena tak sabar ingin sampai di tempat itu.
Sekarang aku telah berada di hadapannya. Aku terisak dihadapannya. Yang aku tau tak ada larangan untuk lelaki menagis bukan?. Andai aku bisa mengundur waktu.
*Flash back on!*
Aku berdecak kesal dalam hati atas kesialanku hari ini. Kejam sekali Bu Winda memilihkanku teman sebangku. Kenapa harus aku yang menjadi teman sebangkunya di awal kelas XII ini? Aku sangat risih melihatnya. Melihat kacamatanya, melihat rambutnya yang terikat. Tunggu. Bukankah teman sekelasku tidak hanya dia yang menggunakan kacamata dan mengikat rambutnya? Tetapi aku tidak risih melihat mereka. Entahlah, segala sesuatu yang ada pada dirinya membuatku tak nyaman.
Emh, sepertinya aku tau penyebabnya. Apalagi kalau bukan kebiasaannya yang selalu saja membawa jam weker kemana saja dan kapan saja. Termasuk kesekolah. Tak taukah ia bahwa aku sangat membenci waktu? Makhluk tak berwujud yang selalu saja memperbudak menusia. Setidaknya jika ia memang sangat mencintai waktu tak bisakah ia mengenakan jam tangan saja? Menurutku membawa weker kesekolah apalagi dengan warna mencolok ‘Merah’ terlalu berlebihan.
“Kenapa?”Ia bertanya padaku.
“Oh, tidak apa-apa” jawabku berpura-pura. Setelah mendengar jawabanku dengan ekspresi tak bersalah ia kembali melanjutkan bacaannya Seandainya ia tahu aku sedang meruntuki jamnya. Coba lihat disini sudah ada jam dinding yang cukup besar. Takbisakah ia melihatnya? Lalu fungsi kacamatanya?
*
“Oh tidak! Aku pasti telat lagi” ucapku panic untuk kesekian kalinya.
_
“Mario berhenti disana! Tak semestinya kamu terlambat. Kamu sekarang sudah kelas XII Mario. Saya sudah katakana tak ada seorangpun yang terlambat saat pelajaran saya.” Ucap Pak Abner berang.
“Maaf Pak.” Jawabku sedikit dengan nada penyesalan.
“Maaf? Ini adalah permintaan maafmu ya ke 10 Mario. Ini sarapan pagimu dan tidak ada penambahan waktu bagi siswa yang terlambat. ” Ucap Pak Abner sambil memberikan selembar kertas yang berisikan 5 buah soal fisika padaku.
“Waktu kalian tinggal 7 menit lagi. Soal itu cukup mudah dalam waktu 5 menitpun bisa diselesaikan” Pak Abner kembali berbicara.
“Ashilla, apa kamu sudah selesai mengerjakannya?” Tanya Pak Abner pada teman satu bangkuku itu dengan intonasi yang lembut. Berbeda sekali saat berbicara denganku tadi.
“Sudah Pak.” Ucapnya. Sepertinya dia bangga sekali.
“Sepertinya teman sebangkumu kesulitan. Apakah dia tidak meminta bentuan kepadamu?” Pak Abner kembali berbicara padanya. kali ini dia menyindirku.
“Saya rasa tidak pak.” Jawabnyai. Aku benci melihat keangkuhan dari nada bicaranya.
Tit…tit…tit… weker miliknya berbunyi.
“Waktu habis mari kita bahas” Ucap Pak Abner. Lalu beliau tersenyum kearahnya seakan-akan berterimakasih atas suara wekernya. Aku benci mendengar suara weker itu. tak taukah ia aku belum selesai mengerjakan soal-soal ini? Tingkahnya semakin membuatku benci kepadanya.
*
Sekarang ia sedang memutar jarum wekernya kearah 10.30 tentulah weker itu akan berbunyi bertepatan dengan bel istirahat nanti. Seorang guru telah memasuki kelasku. Lalu kenapa Bu Zeva yang masuk? Setahuku sekarang adalah mata pelajaran Bu Oik. Aku terus saja bertanya-tanya dalam hati.
“Mungkin kalian heran mengapa saya datang kesini. Berhubung Bu Oik sedang sakit. Untuk sementara pelajaran sejarah kali ini saya yang menggantikan beliau” Ucap Bu Zeva tegas dan mulai menjelaskan pelajaran.
“…karena SUPERSEMAR awal terbentuknya Orde Baru. Di Orde varu ini dikenal pemerintahan yang dwilisme dimana Soekarno sebagai kepala negara tetapi Soeharto yang menjalankan pemerintahan. Hingga timbullah pro dan kontra di Indonesia…”
Sayup-sayup kudengarkan penjelasan Bu Zeva. Kali ini aku tak sabar mendengar suara weker itu. sungguh pelajaran yang membosankan. Sedangkan si pemilik weker sepertinya sangat menikmati penjelasan Bu Zeva.
“Sebentar lagi” ucapku sambil tersenyum.
Tit…tit…tit… weker itupun kembali berbunyi.
“Suara apa itu?!” Tanya Bu Zeva pada kami semua.
“Prakk!” Ia menyenggol wekernya sendiri. Sepertinya ia terkejut mendengar perkataan Bu Zeva.
“Weker saya Bu” ia mengangkat tangannya.
“Apa maksud Anda membunyikan weker itu?”
“Saya tidak bermaksud apa-apa Bu. Hanya saja sayu sudah terbiasa menghidupkan weker saat pergantian mata pelajaran dan jam istirahat.” Ia kembali menjawab pertanyaan Bu Zeva dengan yakin.
“Lalu menandakan apa suara weker Anda tadi?” Kini Bu Zeva bertanya dengan intonasi yang lebih tinggi. Kulirik gadis di sebelahku. Sepertinya tidak takus sama sekali dengan guru yang sudah dikenal horor ini.
“Jam istirahat Bu”
“Jadi Anda ingin mengusir saya? Apakah Anda tidak mendengar bel istirahat saja belum berbunyi? Jika Anda tidak senang saya menggantikan Bu Oik silakan keluar!”
“Maaf Bu saya tidak bermaksud seperti itu.” Tukasnya.
“Sudah! Saya sangat tersinggung dengan kelakuan Anda.” Bu Zeva pun meninggalkan ruang kelas.
“Kena batunya kan?” aku tersenyum penuh kemenangan sambil melihatnya memilih weker yang telah terpisah-pisah di lantai. sepertinya hanya aku yang senang melihatnya dimarahi.
Ia lalu menaruh Baterai, Jarum, Kaca yang telah terpisah-pisah ke atas meja. Kudengar bisik-bisik dari temanku. Ternyata bel sekolah memang sedang diperbaiki itulah sebabnya bel tadi tidak berbunyi. Kulihat lagi wajahnya yang masih sibuk dengan wekernya. Tapi tak kutemukan raut kekesalan diwajahnya.
*
Telah dua hari semenjak kejadian itu ia tak tampak membawa weker merahnya lagi. Mungkin wekernya masih rusak. Coba lihat ternyata ia memiliki jam tangan. Kenapa tidak dari dulu saja ia memakainya? Jam tangan berwarna biru laut dengan bulatan lonjong sebesar kuku ibu jari yang memuat titik-titik di dalamnya. Jam mungil yang sangat pas dengan pergelangan tangannya yang putih dan mungil. Ada apa denganku? Kemnapa aku malah memujinya?
“Emh, maaf aku hanya ingin meminta bentuanmu. Bisakah kau katakana jam berapa sekarang?” ia bertanya kepadaku sedikit ragu. Maklumlah kami jarang berbicara meski aku dan dia duduk bersebelahan.
“Apakah kacamatamu kurang tebal?” jawabku sedikit ketus. Yah! Hanya sedikit.
“Terimakasih” katanya padaku. Ia pun beranjak keluar kelas.
“09.30” kataku singkat. Aku yakin ia masih mendengarnya.
*
-Beberapa bulan kemudian-
Ujian Nasional telah berakhir. Hatiku sungguh lega. Setidaknya aku bisa tidur dengan nyaman tentulah aku tak harus bertemu dengannya setiap hari. Hari ini aku akan pergi ke sekolah untuk menghadiri acara perpisahan. Kukenakan jas terbaiku dan pergi menuju sekolah. Menurutku tak ada yang istimewa di acara ini.
“Emh, Boleh aku berbicara denganmu di kelas?” aku melihat ke sumber suara. Apa? Ia ingin bicara denganku?
“Ya.” Jawabku dan mengikuti langkahnya dari belakang.
“Aku tahu kamu tidak menyukaiku. Bisa dibilang benci. Untuk itu di acara perpisahan kali ini aku mohon maaf atas semua kesalahanku. Mungkin setelah acara ini aku tak akan menggangumu lagi dengan suara wekerku yang memekakkan telingamu.Andai kamu tau betapa berhargannya sedetik waktu bagiku. Kamu tau? sedetik waktu begitu berharga bagiku. Dan itulah sebabnya aku selalu membawa jam kemana-mana. Karena waktu takkan pernah bisa aku beli dan memintanya untuk kembali kemasa lalu. Tapi sayang itu mustahil dan takkan pernah terjadi tak seperti lenyapnya rupiah yang mudah dicari. Ambillah weker ini. Kau boleh membuangnya bahkan menghancurkannya juga tak apa. sekali lagi aku mohon maaf ” ia berkata panjang lebar kepadaku. Dan meletakkan weker itu di tanganku. ia pergi dan meninggalkanku sendiri.
Kali ini aku tak tega ingin membuang weker itu. kumasukan saja weker itu ke tasku. Dan setelah itu aku tak bertemu lagi dengannya.
*
Sudah tiga hari aku berada di rumah sakit. Karena beberapa hari yang lalu memdadak sakit asma ibuku kambuh lagi. Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Aku melihat dari celah pintu yang terbuka seorang gadis tengah kesusahan mengambil sesuatu dari atas meja. Langkahku terhenti. Kurasa aku mengenalnya. Kuberanikan diri memasuki ruangan itu.
“Shilla?” ucapku.
“Iya. kamu siapa? maaf aku tak bisa melihat wajahmu dengan jelas.” Katannya
“Rio. Sini biar aku ambilkan kaca matamu” kataku lagi padanya.
“Tidak perlu. Bisakah ambilkan aku air minum saja?” pintanya padaku.
“Tentu” jawabku dan lekas mengambilkan segelas air yang ada di meja itu.
“Terimakasih, apakah ada keluargamu yang dirawat di rumah sakit ini?” ia bertanya kembali padaku sambil membuka tutup gelas yang sedang dipegangnya.
“Iya, asma ibuku kumat lagi. Sudah tiga hari aku disini. Kamu sendiri sakit apa?” giliranku yang bertanya.
Aku sendiri juga tidak tau aku ini sakit apa. Rumah sakit adalah rumah kedua bagiku.” Kini ia tersenyum meski dengan wajah pucat ia terlihat manis sekali. Baru kali ini aku melihatnya tanpa kacamata. Ternyata aku baru menyadari ia begitu cantik walau dengan mengenakan busana pasien.
“kamu mau mendengar ceritaku?” ia kembali berucap tanpa canggung.
“Tentu” kembali aku mengulang jawaban yang sama.
“Aku senang kamu mau menemaniku ngobrol hari ini.Malam nanti aku akan dioperasi. Jika operasi malam nanti berhasil mungkin mataku selanjutnya yang juga akan dioperasi. Sebenarnya sekarang aku tak bisa melihatmu. Aku tak tau menderiata penyakit apa. Yang jelas semakin hari penglihatanku semakin menurun. Itulah mengapa aku tak monolak kamu mengambilkan kacamataku. Karena kacamata itu sama sekali tak membantu penglihatanku. Dan sekarang aku tak bisa melihat apa-apa. Mungkin ini yang namanya buta.hehe. “ ujarnya sambil tawa renyah. Kemudian ia melanjutkan perkataannya lagi.
“aku tahu kamu masih kesal denganku tapi bolehkah aku meminta kamu untuk mendoakanku agar selamat? Maaf, aku hanya berharap saja. Walaupun operasi nanti malam sukses umurku juga tidak akan panjang. Aku sangat bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah mengikuti Ujian Nasional. Itu adalah anugerah terindah yang pernah kurasakan. Eh, apa kamu masih disini?” ia menghentikan perkataannya. Perkataan demi perkataannya membuatku merasa sangat bersalah padanya. Dadaku sesak seketika. Ada apa denganku selama ini?
“Ya, aku masih disini. Shilla sungguh aku tak tahu kalau kamu… Aku tak sanggup melanjutkannya. Maaf, maaf, maaf atas keakuanku selama ini.” Kali ini aku benar-benar menyesal.
“Benarkah sekarang aku sedang berbicara dengan seorang Mario?” katanya lagi. Mungkin ia tak percaya mendengar mulutku melontarkan kata maaf padannya.
“Tidak, kamu tidak salah. Aku senang kamu bersikap seperti itu dulu. Aku tidak mau hanya dikasihani karena penyakitku. Kita seperti sinetron saja. Hehe. Pergilah mungkin ibumu menunggumu. Sudah terlalu lama kamu disini.” Seperti sebelum-sebelumnya ia tetap saja berkat tanpa ada nada kesediahan di ucapannya.
“Ini wekermu” kataku seraya memberikan weker itu ketangannya.
“Kamu tidak membuangnya?” katanya padaku.
“Tidak.”
“Apa kamu mau menyimpan weker itu? anggap saja itu hadiah dariku karena kita telah menjadi teman hari ini. Kita sudah menjadi temankan?”
“Tentu kita teman. Ya, aku akan menyimpannya. Ku usahakan akan kesini lagi malam nanti. Aku doakan kamu cepat sembuh dan aku yakin kamu pasti sembuh Shilla.” Aku berusaha menyemangatinya dan kini air mataku sudah ingin keluar dari persembunyiannya.
“Kamu tidak menagiskan? Terimaksih doannya. Salam untuk ibumu.”
“Ya. Aku tidak menangis. Akan ku sampaikan salammu pada ibuku.” Ucapku berpura-pura.
*
Aku kembali ke ruang ibuku. Dokter telah mengizinkan beliau pulang. Setelah berkemas-kemas kamipun pulang kerumah. Selepas magrib aku kembali menuju rumah sakit. Kali ini bukan untuk menemani ibuku tapi untuk menyemangati temanku. Yah! Sebuah pertemanan yang baru terjalin beberapa jam yang lalu. Ia telah siap dengan pakaian operasinya.
“Shilla, ”
“Hai, aku kira ucapanmu tadi hanya bercanda. ” ia berkata dan tersenyum padaku. Wajahnya kali ini terlihat lebih pucat.
“ Aku akan disini sampai operasi selesai. Aku akan tunggu kamu disini. Kamu juga harus janji keluar dari ruangan ini dengan selamat.”Paparku.
“Tentu.” Kali ini sepertinya ia meniru dialogku. Ia memasuki ruang operasi.
Untuk pertama tama kalinya ku pegang tanggannya. Berharap bisa mengalirkan kekuatan untuknya.
Kuamati perputaran jarum jam di weker merah miliknya yang sekarang telah menjadi milikku. Telah empat jam aku dan keluarganya menunggu. Dokterpun keluar. Aku dan keluarganya tentu menanti kabar gembira tentangnya. Tapi takdir berkata lain yang pasti tidak akan bisa di ubah oleh siapapun.
Andai waktu bisa diulang. Takkan kuulangi kesalahnku lagi. Itulah penyesalan. Ia akan hadir di akhir sebuah kisah.
***
Aku telah berada tepat di tempat peristirahatan terakhirnya. Telah dua minggu gadis wekerku berada di rumah barunya. Semoga ia bahagia disana.
“Shilla kamu tahu? Aku baru saja pulang dari sekolah. Sekarang pengumuman kelulusan. Kamu tau aku berhasil mendapat urutan ke 25. Aku tahu kamu pasti juga menanti hari ini. Dan kamu tahu Shilla siapa yang berada di urutan pertama? Biar kusebutkan namanya. Pasti kamu mengenalnya. Ashilla Zahrantiara. Itulah nama siswi berprestasi yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi di sekolah kita. Aku tahu kamu pasti senang. Akupun juga senang. Tapi sayang kamu tak ada disini. Aku kusini bersama jam wekermu. Wekermu selalu membangunkanku. Aku tak pernah terlambat lagi sekarang. Sekolah sangat bangga padamu. Terlebih Pak Abner. Hehe. Beliau sepertinya sangat sayang padamu. Aku tadi terburu-buru kesini. Jika teman-teman tahu aku kesini. Pasti mereka bakal titip salam buat kamu. Aku pulang dulu ya. Ayah dan Ibuku tadi berpesan langsung pulang kerumah. Tapi tadi aku tidak sabar ingin memberitahu berita bahagia ini padamu. Aku ingin menjadi orang yang pertama yang memberitahunya. Aku pulang dulu. Baik-baik disana.”
*
Walau waktu hanya mengizinkanku menjadi teman yang sesungguhnya untuknya hanya beberapa jam saja. Aku masih beruntung sang waktu telah memberiku waktu untuk bertemu dengannya. Meski disaat itu adalah waktu terakhirnya di dunia ini. Dia gadis wekerku. Yang banyak memberikanku pelajaran tentang waktu. Karena waktu adalah makhluk agung
Yang diciptakan oleh pencipta yang maha agung. Yang harusku jinakkan.
-TAMAT-
Mohon maaf bagi yang kena tag cerpen iseng ini. Kenapa dibilang iseng? Karena aku cuma terinspirasi dari jam weker aku aja yang selalu setia bangunin aku sahur.. Hehe. Gaje banget ya? Emang. :)
Senin, 22 Agustus 2011 (22.45)
By: Mutiara Kurniati.
Takkan pernah berhenti
Seperti kereta yang amat cepat
Yang terus melaju tanpa henti
Lalu ia akan meninggalkan
Siapa saja yang tak mampu mengikuti ritmenya
***
“Aku pemenangnya!” ucapku karena telah bangun lebih dulu sebelum wekerku berbunyi. Aku beranjak dari perbaringanku lalu menuju kamar mandi dan langsung mengambil wudhu. Tak lupa aku berdoa kepada sang pencipta. Mungkin aku terlihat lebih khusyuk dari biasanya. Yah! benar. karena hari ini adalah hari besar bagiku.
Kukenakan seragam dengan rapi. Tentu lebih rapi dari biasanya.
“Kau harus temani aku hari ini.” Kataku lagi-lagi pada benda tak bernyawa itu dan memasukkannya ke dalam tas. Kini kumelangkah menuruni anak tangga kulihat ibu dan ayahku telah menanti di meja makan dengan senyuman menghiasi wajah mereka.
“Kamu pasti deg-degan hari ini.” Ucap Ibuku.
“Sedikit Bu.” Jawabku.
“Apa benar sekolah tidak mengundang orang tua?” Selidik Ayahku. Aku sangat mengerti arti dari ucapannya.
“Walau anak lelaki suka berbohong dengan tidak memberikan undangan kepada orang tua. Tapi kali ini anakmu ini tidak berbohong Ayah. ” Jawabku sekenanya.
“Baguslah kalu begitu. Ingat setelah tau hasilnya kamu harus pulang. Ibu dan ayah tak sabar ingin mendengar berita gembira itu. ” Kata Ayah lagi.
“Iya, Bu, Yah aku berangkat dulu. ” Ujarku dan langsung meninggalkam meja makan.
*
Motorku kini telah menyusuri jalanan ibu kota yang sangat membisingkan. Setiba di sekolah suasana masih sepi. Sepertinya aku tiba terlalu pagi. Kuparkir motorku dan aku terus saja menyusuri pekarangan sekolahku. Ku hempaskan tasku di rerumputan hijau yang tumbuh subur disana. Sebenarnya aku ingin sekali berbaring di atas rerumputan itu. Tapi kutepiskan niat itu karena takut bajuku akan meninggilkan lipatan-lipatan yang tak enak dipandang mata. Bukankah hari ini hari besar?
Kukeluarkan benda segi empat seukuran telapak tanganku. Kupandangi jarum yang terus berputar menyusuri angka demi angka. Weker merah ini telah menjadi milikku sekarang. Inilah hadiah terindah yang pernah kudapatkan tentunya dari sosok yang luar biasa.
“Rio, pengumumannya sudah mau dimulai!”
Aku mendongakkan kepalaku tatkala mendengar seorang berucap padaku. “ Iya, sebentar lagi aku akan menyusul” Kataku pada Keke teman satu kelasku. Akupun langsung menuju aula.
Seperti biasa sebelum memasuki acara inti tentulah guru-guruku banyak menyampaikan petua-petua untuk siswa-siswinya. Disetiap itu pula aku selalu saja menguap. Entah telah berapa lama Kepala Sekolah berbicara di atas sana.
“ …Untuk pengumuman kelulusan tahun telah di tempel di kantor, silakan kalian lihat disana dan jangan berdesak-desakakan… ”
Hanya kalimat inilah yang membuatku berhenti menguap. Satu-persatu siswa-siswi keluar dari aula begitu pula denganku. Jika sekolah memberikan pengumuman dengan cara di pampang di kantor kemungkinan besar siswa-siswi di sini lulus 100%. Karena jika ada salah seorang siswa yang tidak lulus tentulah sekolah mengumumkan dengan cara pemberian amplop kelulusan. Setidaknya aku berusaha berfikir positif.
Walaupun kepala sekolah tadi mengatakan jangan berdesak-desakan. Tetap saja teman-temanku tak sabaran. Buktinya papan pengumuman telah sesak dikerumbuni banyak orang. Akan kutunggu tempat itu sepi. Ah, bodohnya aku. Tak mungkin tempat itu akan sepi. Bukankah ia menjadi tempat paling favorit hari ini?
Papan pengumuman itu kini telah berkurang peminatnya.Sekarang giliranku untuk kesana. Sengaja kucari namaku dari urutan terbawah. Di lembar terakhir tak kutemukan namaku. Mataku terus saja menyusuri lembar demi lembar kertas pengumuman itu. mataku telah lelah melihat baris demi baris tulisan yang memuat nama-nama siswa sebanyak 450 orang. kini harapanku tergantung pada kertas lembaran pertama. Apakah mungkin namaku tercantum di lembar pertama? Jika itu adalah suatu hal yang mustahil tentu aku akan penelan kepahitan setelah ini. Dengan artian ’Tidak Lulus’. Alhamdulilah namaku tertera di sana di nomor urut 25. Tepatnya urutan terakhir dilembaran itu. Tapi itu suatu hal yang sangat hebat bagiku. Sungguh ini adalah hari yang besar.
Aku terus membaca nama-nama yang tertera di lembar pertama. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku menyingkir dari papan pengumuman itu. Ku kendarai motorku dan akupun pergi meninggalkan sekolah. Kugas sekuat-kuatnya motor yang kukendarai karena tak sabar ingin sampai di tempat itu.
Sekarang aku telah berada di hadapannya. Aku terisak dihadapannya. Yang aku tau tak ada larangan untuk lelaki menagis bukan?. Andai aku bisa mengundur waktu.
*Flash back on!*
Aku berdecak kesal dalam hati atas kesialanku hari ini. Kejam sekali Bu Winda memilihkanku teman sebangku. Kenapa harus aku yang menjadi teman sebangkunya di awal kelas XII ini? Aku sangat risih melihatnya. Melihat kacamatanya, melihat rambutnya yang terikat. Tunggu. Bukankah teman sekelasku tidak hanya dia yang menggunakan kacamata dan mengikat rambutnya? Tetapi aku tidak risih melihat mereka. Entahlah, segala sesuatu yang ada pada dirinya membuatku tak nyaman.
Emh, sepertinya aku tau penyebabnya. Apalagi kalau bukan kebiasaannya yang selalu saja membawa jam weker kemana saja dan kapan saja. Termasuk kesekolah. Tak taukah ia bahwa aku sangat membenci waktu? Makhluk tak berwujud yang selalu saja memperbudak menusia. Setidaknya jika ia memang sangat mencintai waktu tak bisakah ia mengenakan jam tangan saja? Menurutku membawa weker kesekolah apalagi dengan warna mencolok ‘Merah’ terlalu berlebihan.
“Kenapa?”Ia bertanya padaku.
“Oh, tidak apa-apa” jawabku berpura-pura. Setelah mendengar jawabanku dengan ekspresi tak bersalah ia kembali melanjutkan bacaannya Seandainya ia tahu aku sedang meruntuki jamnya. Coba lihat disini sudah ada jam dinding yang cukup besar. Takbisakah ia melihatnya? Lalu fungsi kacamatanya?
*
“Oh tidak! Aku pasti telat lagi” ucapku panic untuk kesekian kalinya.
_
“Mario berhenti disana! Tak semestinya kamu terlambat. Kamu sekarang sudah kelas XII Mario. Saya sudah katakana tak ada seorangpun yang terlambat saat pelajaran saya.” Ucap Pak Abner berang.
“Maaf Pak.” Jawabku sedikit dengan nada penyesalan.
“Maaf? Ini adalah permintaan maafmu ya ke 10 Mario. Ini sarapan pagimu dan tidak ada penambahan waktu bagi siswa yang terlambat. ” Ucap Pak Abner sambil memberikan selembar kertas yang berisikan 5 buah soal fisika padaku.
“Waktu kalian tinggal 7 menit lagi. Soal itu cukup mudah dalam waktu 5 menitpun bisa diselesaikan” Pak Abner kembali berbicara.
“Ashilla, apa kamu sudah selesai mengerjakannya?” Tanya Pak Abner pada teman satu bangkuku itu dengan intonasi yang lembut. Berbeda sekali saat berbicara denganku tadi.
“Sudah Pak.” Ucapnya. Sepertinya dia bangga sekali.
“Sepertinya teman sebangkumu kesulitan. Apakah dia tidak meminta bentuan kepadamu?” Pak Abner kembali berbicara padanya. kali ini dia menyindirku.
“Saya rasa tidak pak.” Jawabnyai. Aku benci melihat keangkuhan dari nada bicaranya.
Tit…tit…tit… weker miliknya berbunyi.
“Waktu habis mari kita bahas” Ucap Pak Abner. Lalu beliau tersenyum kearahnya seakan-akan berterimakasih atas suara wekernya. Aku benci mendengar suara weker itu. tak taukah ia aku belum selesai mengerjakan soal-soal ini? Tingkahnya semakin membuatku benci kepadanya.
*
Sekarang ia sedang memutar jarum wekernya kearah 10.30 tentulah weker itu akan berbunyi bertepatan dengan bel istirahat nanti. Seorang guru telah memasuki kelasku. Lalu kenapa Bu Zeva yang masuk? Setahuku sekarang adalah mata pelajaran Bu Oik. Aku terus saja bertanya-tanya dalam hati.
“Mungkin kalian heran mengapa saya datang kesini. Berhubung Bu Oik sedang sakit. Untuk sementara pelajaran sejarah kali ini saya yang menggantikan beliau” Ucap Bu Zeva tegas dan mulai menjelaskan pelajaran.
“…karena SUPERSEMAR awal terbentuknya Orde Baru. Di Orde varu ini dikenal pemerintahan yang dwilisme dimana Soekarno sebagai kepala negara tetapi Soeharto yang menjalankan pemerintahan. Hingga timbullah pro dan kontra di Indonesia…”
Sayup-sayup kudengarkan penjelasan Bu Zeva. Kali ini aku tak sabar mendengar suara weker itu. sungguh pelajaran yang membosankan. Sedangkan si pemilik weker sepertinya sangat menikmati penjelasan Bu Zeva.
“Sebentar lagi” ucapku sambil tersenyum.
Tit…tit…tit… weker itupun kembali berbunyi.
“Suara apa itu?!” Tanya Bu Zeva pada kami semua.
“Prakk!” Ia menyenggol wekernya sendiri. Sepertinya ia terkejut mendengar perkataan Bu Zeva.
“Weker saya Bu” ia mengangkat tangannya.
“Apa maksud Anda membunyikan weker itu?”
“Saya tidak bermaksud apa-apa Bu. Hanya saja sayu sudah terbiasa menghidupkan weker saat pergantian mata pelajaran dan jam istirahat.” Ia kembali menjawab pertanyaan Bu Zeva dengan yakin.
“Lalu menandakan apa suara weker Anda tadi?” Kini Bu Zeva bertanya dengan intonasi yang lebih tinggi. Kulirik gadis di sebelahku. Sepertinya tidak takus sama sekali dengan guru yang sudah dikenal horor ini.
“Jam istirahat Bu”
“Jadi Anda ingin mengusir saya? Apakah Anda tidak mendengar bel istirahat saja belum berbunyi? Jika Anda tidak senang saya menggantikan Bu Oik silakan keluar!”
“Maaf Bu saya tidak bermaksud seperti itu.” Tukasnya.
“Sudah! Saya sangat tersinggung dengan kelakuan Anda.” Bu Zeva pun meninggalkan ruang kelas.
“Kena batunya kan?” aku tersenyum penuh kemenangan sambil melihatnya memilih weker yang telah terpisah-pisah di lantai. sepertinya hanya aku yang senang melihatnya dimarahi.
Ia lalu menaruh Baterai, Jarum, Kaca yang telah terpisah-pisah ke atas meja. Kudengar bisik-bisik dari temanku. Ternyata bel sekolah memang sedang diperbaiki itulah sebabnya bel tadi tidak berbunyi. Kulihat lagi wajahnya yang masih sibuk dengan wekernya. Tapi tak kutemukan raut kekesalan diwajahnya.
*
Telah dua hari semenjak kejadian itu ia tak tampak membawa weker merahnya lagi. Mungkin wekernya masih rusak. Coba lihat ternyata ia memiliki jam tangan. Kenapa tidak dari dulu saja ia memakainya? Jam tangan berwarna biru laut dengan bulatan lonjong sebesar kuku ibu jari yang memuat titik-titik di dalamnya. Jam mungil yang sangat pas dengan pergelangan tangannya yang putih dan mungil. Ada apa denganku? Kemnapa aku malah memujinya?
“Emh, maaf aku hanya ingin meminta bentuanmu. Bisakah kau katakana jam berapa sekarang?” ia bertanya kepadaku sedikit ragu. Maklumlah kami jarang berbicara meski aku dan dia duduk bersebelahan.
“Apakah kacamatamu kurang tebal?” jawabku sedikit ketus. Yah! Hanya sedikit.
“Terimakasih” katanya padaku. Ia pun beranjak keluar kelas.
“09.30” kataku singkat. Aku yakin ia masih mendengarnya.
*
-Beberapa bulan kemudian-
Ujian Nasional telah berakhir. Hatiku sungguh lega. Setidaknya aku bisa tidur dengan nyaman tentulah aku tak harus bertemu dengannya setiap hari. Hari ini aku akan pergi ke sekolah untuk menghadiri acara perpisahan. Kukenakan jas terbaiku dan pergi menuju sekolah. Menurutku tak ada yang istimewa di acara ini.
“Emh, Boleh aku berbicara denganmu di kelas?” aku melihat ke sumber suara. Apa? Ia ingin bicara denganku?
“Ya.” Jawabku dan mengikuti langkahnya dari belakang.
“Aku tahu kamu tidak menyukaiku. Bisa dibilang benci. Untuk itu di acara perpisahan kali ini aku mohon maaf atas semua kesalahanku. Mungkin setelah acara ini aku tak akan menggangumu lagi dengan suara wekerku yang memekakkan telingamu.Andai kamu tau betapa berhargannya sedetik waktu bagiku. Kamu tau? sedetik waktu begitu berharga bagiku. Dan itulah sebabnya aku selalu membawa jam kemana-mana. Karena waktu takkan pernah bisa aku beli dan memintanya untuk kembali kemasa lalu. Tapi sayang itu mustahil dan takkan pernah terjadi tak seperti lenyapnya rupiah yang mudah dicari. Ambillah weker ini. Kau boleh membuangnya bahkan menghancurkannya juga tak apa. sekali lagi aku mohon maaf ” ia berkata panjang lebar kepadaku. Dan meletakkan weker itu di tanganku. ia pergi dan meninggalkanku sendiri.
Kali ini aku tak tega ingin membuang weker itu. kumasukan saja weker itu ke tasku. Dan setelah itu aku tak bertemu lagi dengannya.
*
Sudah tiga hari aku berada di rumah sakit. Karena beberapa hari yang lalu memdadak sakit asma ibuku kambuh lagi. Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Aku melihat dari celah pintu yang terbuka seorang gadis tengah kesusahan mengambil sesuatu dari atas meja. Langkahku terhenti. Kurasa aku mengenalnya. Kuberanikan diri memasuki ruangan itu.
“Shilla?” ucapku.
“Iya. kamu siapa? maaf aku tak bisa melihat wajahmu dengan jelas.” Katannya
“Rio. Sini biar aku ambilkan kaca matamu” kataku lagi padanya.
“Tidak perlu. Bisakah ambilkan aku air minum saja?” pintanya padaku.
“Tentu” jawabku dan lekas mengambilkan segelas air yang ada di meja itu.
“Terimakasih, apakah ada keluargamu yang dirawat di rumah sakit ini?” ia bertanya kembali padaku sambil membuka tutup gelas yang sedang dipegangnya.
“Iya, asma ibuku kumat lagi. Sudah tiga hari aku disini. Kamu sendiri sakit apa?” giliranku yang bertanya.
Aku sendiri juga tidak tau aku ini sakit apa. Rumah sakit adalah rumah kedua bagiku.” Kini ia tersenyum meski dengan wajah pucat ia terlihat manis sekali. Baru kali ini aku melihatnya tanpa kacamata. Ternyata aku baru menyadari ia begitu cantik walau dengan mengenakan busana pasien.
“kamu mau mendengar ceritaku?” ia kembali berucap tanpa canggung.
“Tentu” kembali aku mengulang jawaban yang sama.
“Aku senang kamu mau menemaniku ngobrol hari ini.Malam nanti aku akan dioperasi. Jika operasi malam nanti berhasil mungkin mataku selanjutnya yang juga akan dioperasi. Sebenarnya sekarang aku tak bisa melihatmu. Aku tak tau menderiata penyakit apa. Yang jelas semakin hari penglihatanku semakin menurun. Itulah mengapa aku tak monolak kamu mengambilkan kacamataku. Karena kacamata itu sama sekali tak membantu penglihatanku. Dan sekarang aku tak bisa melihat apa-apa. Mungkin ini yang namanya buta.hehe. “ ujarnya sambil tawa renyah. Kemudian ia melanjutkan perkataannya lagi.
“aku tahu kamu masih kesal denganku tapi bolehkah aku meminta kamu untuk mendoakanku agar selamat? Maaf, aku hanya berharap saja. Walaupun operasi nanti malam sukses umurku juga tidak akan panjang. Aku sangat bersyukur masih diberi kesempatan oleh Allah mengikuti Ujian Nasional. Itu adalah anugerah terindah yang pernah kurasakan. Eh, apa kamu masih disini?” ia menghentikan perkataannya. Perkataan demi perkataannya membuatku merasa sangat bersalah padanya. Dadaku sesak seketika. Ada apa denganku selama ini?
“Ya, aku masih disini. Shilla sungguh aku tak tahu kalau kamu… Aku tak sanggup melanjutkannya. Maaf, maaf, maaf atas keakuanku selama ini.” Kali ini aku benar-benar menyesal.
“Benarkah sekarang aku sedang berbicara dengan seorang Mario?” katanya lagi. Mungkin ia tak percaya mendengar mulutku melontarkan kata maaf padannya.
“Tidak, kamu tidak salah. Aku senang kamu bersikap seperti itu dulu. Aku tidak mau hanya dikasihani karena penyakitku. Kita seperti sinetron saja. Hehe. Pergilah mungkin ibumu menunggumu. Sudah terlalu lama kamu disini.” Seperti sebelum-sebelumnya ia tetap saja berkat tanpa ada nada kesediahan di ucapannya.
“Ini wekermu” kataku seraya memberikan weker itu ketangannya.
“Kamu tidak membuangnya?” katanya padaku.
“Tidak.”
“Apa kamu mau menyimpan weker itu? anggap saja itu hadiah dariku karena kita telah menjadi teman hari ini. Kita sudah menjadi temankan?”
“Tentu kita teman. Ya, aku akan menyimpannya. Ku usahakan akan kesini lagi malam nanti. Aku doakan kamu cepat sembuh dan aku yakin kamu pasti sembuh Shilla.” Aku berusaha menyemangatinya dan kini air mataku sudah ingin keluar dari persembunyiannya.
“Kamu tidak menagiskan? Terimaksih doannya. Salam untuk ibumu.”
“Ya. Aku tidak menangis. Akan ku sampaikan salammu pada ibuku.” Ucapku berpura-pura.
*
Aku kembali ke ruang ibuku. Dokter telah mengizinkan beliau pulang. Setelah berkemas-kemas kamipun pulang kerumah. Selepas magrib aku kembali menuju rumah sakit. Kali ini bukan untuk menemani ibuku tapi untuk menyemangati temanku. Yah! Sebuah pertemanan yang baru terjalin beberapa jam yang lalu. Ia telah siap dengan pakaian operasinya.
“Shilla, ”
“Hai, aku kira ucapanmu tadi hanya bercanda. ” ia berkata dan tersenyum padaku. Wajahnya kali ini terlihat lebih pucat.
“ Aku akan disini sampai operasi selesai. Aku akan tunggu kamu disini. Kamu juga harus janji keluar dari ruangan ini dengan selamat.”Paparku.
“Tentu.” Kali ini sepertinya ia meniru dialogku. Ia memasuki ruang operasi.
Untuk pertama tama kalinya ku pegang tanggannya. Berharap bisa mengalirkan kekuatan untuknya.
Kuamati perputaran jarum jam di weker merah miliknya yang sekarang telah menjadi milikku. Telah empat jam aku dan keluarganya menunggu. Dokterpun keluar. Aku dan keluarganya tentu menanti kabar gembira tentangnya. Tapi takdir berkata lain yang pasti tidak akan bisa di ubah oleh siapapun.
Andai waktu bisa diulang. Takkan kuulangi kesalahnku lagi. Itulah penyesalan. Ia akan hadir di akhir sebuah kisah.
***
Aku telah berada tepat di tempat peristirahatan terakhirnya. Telah dua minggu gadis wekerku berada di rumah barunya. Semoga ia bahagia disana.
“Shilla kamu tahu? Aku baru saja pulang dari sekolah. Sekarang pengumuman kelulusan. Kamu tau aku berhasil mendapat urutan ke 25. Aku tahu kamu pasti juga menanti hari ini. Dan kamu tahu Shilla siapa yang berada di urutan pertama? Biar kusebutkan namanya. Pasti kamu mengenalnya. Ashilla Zahrantiara. Itulah nama siswi berprestasi yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi di sekolah kita. Aku tahu kamu pasti senang. Akupun juga senang. Tapi sayang kamu tak ada disini. Aku kusini bersama jam wekermu. Wekermu selalu membangunkanku. Aku tak pernah terlambat lagi sekarang. Sekolah sangat bangga padamu. Terlebih Pak Abner. Hehe. Beliau sepertinya sangat sayang padamu. Aku tadi terburu-buru kesini. Jika teman-teman tahu aku kesini. Pasti mereka bakal titip salam buat kamu. Aku pulang dulu ya. Ayah dan Ibuku tadi berpesan langsung pulang kerumah. Tapi tadi aku tidak sabar ingin memberitahu berita bahagia ini padamu. Aku ingin menjadi orang yang pertama yang memberitahunya. Aku pulang dulu. Baik-baik disana.”
*
Walau waktu hanya mengizinkanku menjadi teman yang sesungguhnya untuknya hanya beberapa jam saja. Aku masih beruntung sang waktu telah memberiku waktu untuk bertemu dengannya. Meski disaat itu adalah waktu terakhirnya di dunia ini. Dia gadis wekerku. Yang banyak memberikanku pelajaran tentang waktu. Karena waktu adalah makhluk agung
Yang diciptakan oleh pencipta yang maha agung. Yang harusku jinakkan.
-TAMAT-
Mohon maaf bagi yang kena tag cerpen iseng ini. Kenapa dibilang iseng? Karena aku cuma terinspirasi dari jam weker aku aja yang selalu setia bangunin aku sahur.. Hehe. Gaje banget ya? Emang. :)
Senin, 22 Agustus 2011 (22.45)
By: Mutiara Kurniati.
Komentar
Posting Komentar